Sabtu, 06 September 2008

Hanya 29 Persen Pekerja Formal Anggota Serikat Buruh

Ketenagakerjaan
Diunduh dari Harian KOMPAS, Sabtu, 30 Agustus 2008

Jakarta, Kompas - Data Badan Pusat Statistik menyebutkan, dari 28,52 juta pekerja sektor formal, hanya 29 persen atau 8,28 juta orang yang terdaftar sebagai anggota serikat buruh. Padahal, dengan berserikat akan lebih mudah bagi buruh memperjuangkan haknya, seperti yang dinyatakan UU Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Buruh/Serikat Pekerja.

Tren meningkatnya buruh kontrak dan masih minimnya pemahaman terhadap serikat buruh membuat sebagian besar buruh belum bergabung dalam serikat buruh. Adapun pekerja formal yang menjadi anggota serikat buruh bergabung dengan 87 federasi serikat buruh yang berafiliasi dalam tiga konfederasi. Namun, ada pula serikat buruh yang tidak berafiliasi.

Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (K-SPSI) tercatat sebagai organisasi pekerja dengan anggota terbanyak, disusul Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (K-SBSI).

Presiden K-SBSI Rekson Silaban, Jumat (29/8) di Makassar, menyatakan, selain belum dipahaminya peran serikat pekerja, status buruh kontrak juga menjadi penyebab buruh tidak tertarik untuk berserikat.

”Sistem kerja kontrak membuat masa depan buruh tidak pasti, mudah kehilangan pekerjaan. Ini membuat mereka enggan menjadi anggota serikat. Pemerintah harus memerhatikan hal ini. Semestinya mereka harus berorganisasi untuk memperjuangkan hak-haknya,” paparnya.

Situasi di Indonesia berbeda dengan di Uni Eropa dan Korea Selatan. Serikat buruh di sana sangat kuat dan buruh harus menjadi anggota serikat untuk menjamin hak-hak normatifnya.

”Buruh di Eropa tidak bisa mengambil tunjangan pengangguran saat tidak bekerja kalau tidak punya kartu anggota serikat. Ini membuat serikat buruh kuat sehingga produktivitas pun meningkat,” ujar Rekson.

Menurut Presiden KSPI Thamrin Moosi, rendahnya minat para pekerja sektor formal untuk berserikat adalah akibat tingginya praktik kriminalisasi terhadap pekerja. Oknum pemerintah membiarkan hal itu terjadi.

”Pelanggaran terhadap serikat pekerja masih terjadi. Terakhir, ada pekerja di Bogor yang membentuk serikat pekerja malah dikerjai manajemennya, sampai akhirnya terkena pemutusan hubungan kerja. Kondisi ini kurang kondusif bagi kebebasan berserikat,” tuturnya. (ham)

[ Kembali ]

Serikat Buruh Masih Belum Utuh Dipahami

Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 29 Agustus 2008

Jakarta, Kompas - Sejak Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh terbit, jumlah organisasi buruh meningkat tajam dari awalnya hanya satu, yakni Serikat Pekerja Seluruh Indonesia atau SPSI. Walau sebagian pengusaha mulai menerima keberadaan serikat buruh di lingkungannya, aktivis buruh masih menghadapi berbagai tantangan karena masih ada pihak yang belum memahami fungsi mereka secara utuh.

Demikian terungkap dalam seminar Organisasi Buruh Internasional (International Labour Organization/ILO) bertajuk ”10 Tahun Peringatan Ratifikasi Konvensi Kebebasan Berserikat 1998- 2008”, Kamis (28/8) di Jakarta.

Hasil verifikasi Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, terdapat 87 federasi serikat buruh yang berafiliasi ke Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (K-SPSI), Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (K-SBSI), dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI).

Indonesia adalah negara pertama di Asia yang meratifikasi Konvensi Pokok ILO Nomor 87 tentang Kebebasan Berserikat pada tahun 1998. Pemerintah kemudian menerbitkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

Presiden K-SBSI Rekson Silaban mengatakan, kriminalisasi aktivis serikat buruh masih terjadi. Hal ini menunjukkan penegakan hukum masih belum berjalan.

”Jika sudah ada penegakan hukum, pasti tidak ada yang berani menghalangi kebebasan berserikat. Pemerintah harus tegas soal ini,” kata Rekson.

Presiden KSPI Thamrin Moosi mengatakan, anggota serikat pekerja tidak hanya menghadapi teror dari manajemen, tetapi juga dari oknum pemerintah.

Menurut Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hasanuddin Rachman, kebebasan berserikat saat ini jauh lebih baik dibandingkan dengan 10 tahun yang lalu. Akan tetapi, dia menyesalkan masih banyak aktivis serikat buruh yang kebablasan dalam berorganisasi.

”Pengusaha dan buruh seharusnya bersatu untuk mewujudkan negara yang sejahtera. Bukan malah terus bertengkar,” tuturnya. (ham)

[ Kembali ]

Selasa, 02 September 2008

Ode untuk Ciil, Suamiku

Diunduh dari Harian KOMPAS, Rabu, 3 September 2008.

Oleh
Kartini Sjahrir

Ciil itu ibarat air, mengalir tak henti. Dia tidak memandang di mana berada, dan tak mempermasalahkan dengan siapa dia berhadapan.

Bagi dirinya, semua orang adalah sama. Status sosial tak terlalu dipedulikan. Ia bergaul dengan siapa saja dan dari berbagai kalangan. Seperti air, ia pun tidak terkotak-kotak dan mengotakkan diri pada satu atau beberapa aliran pemikiran dalam ilmu pengetahuan.

Mencintai dunia akademis

Ketika masih kuliah di Harvard, ia amat mengagumi Samuel Huntington dan pemikirannya. Semua buku Huntington, dia lalap dengan cepat. Saya bahkan terkena imbasnya, disuruh (jika tak hendak mengatakan di-”paksa”) membacanya saat saya mengambil mata kuliah antropologi politik di Boston University. Namun, pada saat sama, ia juga mengkritik pandangan Huntington yang disampaikan langsung kepadanya.

Dia juga mengagumi Prof Stanley Hoffman, pakar politik ekonomi Rusia dan Eropa Timur. Ia belajar mengenai pembuatan policy dari Prof Jack Montgomery, ahli kebijakan publik (public policy), di mana Ciil sendiri pernah menjadi asistennya selama tiga tahun. Ciil juga berguru kepada Prof Richard Musgrave tentang public finance. Ia juga menyukai Francis Fukuyama dalam buku The Great Disruption, seperti kekagumannya terhadap tulisan dan buku Kenneth Galbraith seperti The Affluent Society. Saya rada yakin Ciil hafal titik koma isi buku itu.

Pada awal tahun 2000, ia berteman dengan Prof Paul Krugman, kolumnis ekonomi The New York Times, dan profesor ekonomi dari Princeton. Ciil bahkan mengundang Krugman dua kali datang ke Indonesia untuk berceramah bersama antara lain Marie Pangestu. Ia juga menyukai pikiran ”kiri” Richard Robinson, seperti halnya ia tertarik dengan jalan pikiran Hal Hil dan Ann Booth dari Australia.

Cukup banyak mazhab dalam ilmu ekonomi yang membuat Ciil menatap kagum meski ia mungkin berbeda pendapat dengan sejumlah mazhab itu. Baginya yang terpenting bukan mempelajari perbedaan yang ada, tetapi mengupayakan bagaimana mengelola perbedaan itu bagi kepentingan pembuatan kebijakan publik. Lima tahun terakhir, pemikirannya banyak dipengaruhi pemenang hadiah Nobel Ekonomi Amartya Sen. Hampir semua buku Amartya dikoleksi dan dibaca berulang-ulang, diulas, dikomentari, dan didiskusikan.

Pada dasarnya, Ciil amat mencintai dunia akademis. Ia menyukai peran sebagai dosen dan penulis. Setiap kali ada ide menarik, ia ingin segera melukiskannya. Ide itu dapat datang kapan saja dan di mana saja. Biasanya ia mendikte ide itu langsung dari tempat dia berada: dari mobil, restoran, atau dari Bakoel Coffee, tempat favoritnya untuk minum kopi pada sore hari.

Berikut ilustrasi saat Ciil menelepon Poppy, sekretarisnya, ”Hallo Poppeke, di mana posisi? di kantor? Ok, tolong segera di komputer, aku mau dikte–cepetan! Jangan lebih lama dari 5 menit. Siap? Sekarang aku mulai….” Mulailah ide keluar seperti air mancur. Begitu selesai: ”Ada yang terlewat Pop? Ok kan semua? Tolong print out-kan ya. Aku balik kantor satu jam lagi….” Begitu Ciil kembali ke kantor, draf tulisan sudah siap dikoreksi. Ciil sendiri tidak pandai mengetik meski amat ingin karena jari-jari tangannya lebih besar daripada tuts komputer.

Perbedaan itu indah

Ibarat air mengalir, Ciil adalah sebuah mosaik. Bermacam ide, pikiran, dan aktivitas menjadi satu dalam tubuhnya yang subur. Ia memiliki karakter yang saya sebut ”pluralistik”.

Menurut Ciil, semua orang adalah sama dan perbedaan bukan untuk dipertentangkan, dikelola saksama. Perbedaan itu indah karena membentuk berbagai corak dan warna dalam suatu sinergi yang serasi. Ia sering mengutip istilah dari sahabatnya, Rocky Gerung, yang mengatakan, orang diukur berdasarkan ”ayat konstitusi” dalam suatu negara demokratis. Bukan dari ”ayat- ayat suci”. Bagi Ciil, agama adalah sesuatu yang teramat suci yang tidak boleh ditransaksikan secara politik. Hubungan seseorang dengan pencipta-Nya adalah sesuatu yang amat pribadi dan sakral.

Sikapnya yang amat mendukung kemajemukan inilah yang kemudian mendorong Ciil membangun Partai Perjuangan Indonesia Baru pada tahun 2002, selain pemahaman tentang pentingnya kemakmuran ekonomi berlandaskan keadilan sosial, seperti pemikiran Amartya Sen. Dengan mesin politik ini, menurut Ciil, teman-teman yang sepaham mau dan bersedia keluar dari ”sarang nyaman” (comfort zone) untuk membawa Indonesia ke arah yang lebih baik dan berkeadilan. Pada Pemilu 2004, ia memberikan kesempatan bagi kaum perempuan dan minoritas Tionghoa untuk menduduki kursi nomor 1 dan 2. Hingga tak mengherankan, anggota-anggota DPRD 1 dan 2 Partai PIB banyak yang perempuan dan Tionghoa.

Keluarga

Ciil adalah anak tunggal dari keluarga yang ayah-ibunya bercerai. Pengalaman pahit masa kecil begitu membekas sehingga membuat dia bertekad untuk membangun keluarga yang bahagia. Saya dan anak-anak betul- betul dilimpahi kasih sayang dan perhatian dengan segala kelucuan dan kekonyolan khas Ciil. Baginya, keluarga adalah segala-galanya. Ciil menjadi guru dan mentor utama bagi pendidikan kedua anak kami: Pandu dan Gita. Ia melatih anak-anak berdebat dan berdiskusi sejak kecil. Setiap tahun sambil berlibur, ia melakukan swot meeting dengan anak- anak dan saya. SWOT adalah S: strength (kekuatan), W: weakness (kelemahan), O: opportunities (kesempatan) dan T: threat (ancaman).

Dalam swot meeting, ia membahas berbagai hal dengan anak- anak, mulai soal di sekolah sampai pergaulan anak muda. Ciil juga membuka diri untuk dikritik secara terbuka oleh anak-anak. Saya ingat, kritik anak-anak kepada Ciil setiap tahun adalah ”ayah terlalu gemuk”, ”ayah terlalu mau ngatur semua”, atau ”ayah kayak kepala suku, semua orang mau diurusin”, atau saat anak- anak mulai besar, mereka bilang ”ayah terlalu baik dan terlalu percaya bahwa semua orang seperti ayah....”

Meski sesudah anak-anak besar dan menempuh studi S-2, ia juga mengeluh kepada saya bahwa anak-anak, terutama Gita, amat pandai mendebat dan dia sering kewalahan menjawab. Saya menangkap ada rasa bangga di dalamnya. Berulang kali dia sampaikan, saat kami duduk berdua berbincang-bincang, bahwa sebetulnya tidak ada lagi yang dia cari dalam hidupnya. Bagi Ciil, achievement dia yang terbesar adalah keberhasilan dari pendidikan dan pembentukan karakter kedua anak kami.

Air itu berhenti mengalir pada Senin, 28 Juni 2008, pukul 09.08 di Rumah Sakit Mt Elizabeth, Singapura. Jam Ciil berhenti berdetak. Perjuangannya melawan sakit yang tiba-tiba datang menyergap usai sudah. Wajahnya tenang dan damai dalam pelukan kami: Pandu, Abdul (calon menantu), dan saya, seolah berkata: ”… aku mengalir terus dalam jiwa dan semangat, dalam cita-cita dan pengharapanku….”

Empat puluh hari kau telah meninggalkan kami. Selamat jalan Ciil….

Kartini Sjahrir Istri (alm) Dr Sjahrir; Antropolog lulusan Boston University, AS; Ketua Umum Partai PIB

[ Kembali ]

Jumat, 08 Agustus 2008

Manusia Indonesia Dikuasai Budaya Konflik

Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 11 Juli 2008.


DEPOK, KOMPAS - Pikiran orang Indonesia dikuasi oleh budaya konflik. Kita lebih tahu cara, teknik, dan strategi berkonflik ketimbang cara dan strategi berkolaborasi atau bekerja sama dengan pihak lain.
Demikian dinyatakan Prudensius Maring menjawab pertanyaan, kenapa Indonesia terus dilanda konflik, yang diajukan salah seorang penyanggah dalam sidang terbuka promosi doktor antropologi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Kamis (10/7).
Di ranah akademis, ilmuwan sosial lebih banyak melakukan kajian-kajian tentang konflik ketimbang kajian-kajian tentang kolaborasi. Karenanya, para akademisi juga ikut bertanggung jawab atas tidak munculnya aspek kolaborasi dalam berbagai konflik—sering disertai kekerasan.
”Untuk mewujudkan Indonesia yang damai, kita perlu lebih kembangkan pikiran tentang kolaborasi,” kata Prudensius. Disertasinya berjudul ”Hubungan Kekuasaan: Konflik, Perlawanan, dan Kolaborasi dalam Penguasaan Hutan di Egon, Flores”.
Menggunakan teori kekuasaan Michael Foucault, dalam penelitiannya, Maring menemukan, di kawasan hutan Gunung Egon bukan hanya terjadi konflik antara pemerintah dan masyarakat setempat, tetapi masyarakat adat juga sering berkolaborasi dengan pemerintah agar dapat memanfaatkan secara optimal lahan dan sumber daya lainnya.
Kehadiran badan nonpemerintah atau lembaga swadaya masyarakat (LSM) ternyata tidak selalu disambut baik masyarakat. ”LSM yang hidup dari dana luar negeri dianggap mewakili kepentingan asing,” tutur Maring yang menyusun disertasi dengan promotor Prof Dr Achmad Fedyani Saifuddin. Maring lulus dengan predikat summa cum laude.
Di FISIP UI, kemarin, juga berlangsung sidang promosi doktor Djainal Abidin S, peneliti dan koordinator pelatihan di Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi UI dengan disertasi berjudul ”Modal Sosial dan Dinamika Usaha Mikro Kecil (UMK): Suatu Studi Sosiologi Ekonomi di Perkampungan Industri Kecil Jakarta”. (muk)

Kamis, 07 Agustus 2008

Voting dan Demokrasi Pancasila

by : Anas Urbaningrum
Dikutip dari Kolom Sudut Pandang, di Harian Jurnal Nasional, Jakarta Jum'at, 13 Jun 2008
Dalam seminar Gerakan Jalan Lurus mengenai demokrasi yang sesuai dengan sila keempat Pancasila beberapa waktu lalu, Sri Sultan Hamengku Buwono X menyoal demokrasi berdasarkan voting. Apa soalnya? Voting tidak berdasarkan falsafah musyawarah mufakat, tidak sejalan dengan semangat kebersamaan dan menghasilkan mayoritas dan minoritas. Elite-elite politik mengedepankan voting, padahal rakyat menyukai harmoni.Saya agak berbeda dengan Ngarso Dalem Sultan. Ketika kita memilih jalan demokrasi, maka voting tidak bisa ditolak. Demokrasi Pancasila, saya setuju, mengedepankan musyawarah mufakat. Inilah semangat mencari titik temu dalam proses pengambilan keputusan. Jika bisa dimusyawarahkan, mufakatlah jalannya.Tetapi voting tidak bertentangan dengan semangat kebersamaan. Voting tidak bermakna perusak harmoni. Voting bukan lawan kebersamaan. Voting adalah metode untuk memutus sesuatu, jika musyawarah tidak berhasil memproduksi kata mufakat. Jadi, soalnya bukan voting. Perkaranya apakah kita dewasa dalam mempraktikkan voting? Demokrasi Pancasila kita justru harus mendewasakan diri dengan mewajarkan voting: dalam menjalankan dan menerima hasil voting. Saya menduga, kalau kita terlalu pekat memuja mufakatisme akan menghambat tumbuhnya kedewasaan dalam mempraktikkan voting. Artinya, bisa menjadi kontributor bagi munculnya sikap kanak-kanak: marah dan dendam lantaran kalah voting. Saya tidak melihat voting akan merusak kecenderungan rakyat menyukai harmoni. Rakyat tidak begitu peduli, apakah para elite mengambil keputusan dengan mufakat atau pemungutan suara. Yang penting keputusan itu berfaedah bagi rakyat. Rakyat kita cukup dewasa, karena ditempa pengalaman panjang tentang konflik. Rakyat sudah kenyal dan sanggup menerima perbedaan secara dewasa. Yang acapkali kurang dewasa adalah para elite yang disandera hawa nafsu politik jangka pendek, sesaat dan tidak kuasa menerima kekalahan. Bagi elite yang "kanak-kanak", rakyat menjadi bahan bakar bagi sikap dan perilakunya yang menggelikan. Rakyat dihasut, dimanipulasi, dimobilisasi dan dijadikan alasan untuk memoles kepentingan politiknya.
Karena itu, kita justru harus mulai berani membangun kebersamaan dan harmoni di tengah tradisi baru berdemokrasi, termasuk ketika harus voting. Basisnya sederhana: sanggup menerima kemenangan dan kekalahan secara dewasa. Menang tidak pongah, kalah tidak marah-marah. Menang secara elegan, kalah terhormat. Lantaran itu, mufakat maupun pemungutan suara sama derajatnya di hadapan demokrasi Pancasila. Mufakat dan voting sama-sama memberi ruang memadai bagi kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan-perwakilan. Wallahu a`lam


[Kembali]

Demonstrasi Demokratik

by : Anas Urbaningrum
Dikutip dari Kolom Sudut Pandang, di Harian Jurnal Nasional, Jakarta Jum'at, 27 Jun 2008
Jika ada kompetisi produktivitas demonstrasi (kuantitatif) antarnegara demokrasi, rasanya Indonesia akan masuk ke jajaran atas. Sangat mungkin untuk menyabet medali. Siapa tahu malah kebagian medali emas. Apalagi kalau kompetisinya dengan durasi waktu 10 tahun terakhir: luar biasa prestasi kita. Setiap tahun kita akan berjaya di fora internasional, seperti layaknya olimpiade fisika, kimia, dan matematika yang setiap kali mengharumkan nama bangsa.
Sayang, olimpiade demonstrasi tidak pernah diselenggarakan. Agaknya akal sehat memang tidak memberikan ruang bagi kompetisi semacam itu. Maknanya adalah banyak-banyakan, hebat-hebatan, keras-kerasan berdemonstrasi adalah bukan ukuran kehebatan suatu bangsa. Berbeda dengan olimpiade pelajar, olimpiade yang akan berlangsung di China tahun ini, Piala Eropa, Piala Dunia, dan sebagainya. Beberapa contoh terakhir memang sesuatu yang bermakna pertarungan prestasi dan kebanggaan.
Kalau coba kita hitung 10 tahun terakhir, sudah berapa kali demonstrasi terjadi di seluruh pelosok negeri kita. Berapa ongkos yang sudah dikeluarkan: waktu, tenaga, kemarahan, provokasi, pengamanan, luka-luka, kemacetan, ketakutan, kerusakan, dan sebagainya. Sangat mungkin ongkos totalnya sudah sangat besar: puluhan atau bahkan ratusan triliun.
Apakah demonstrasi tidak boleh diberi tempat?
Bukan begitu jalan pikirannya. Pendirian demokrasi selalu akomodatif terhadap ruang bagi ekspresi politik warganya. Termasuk dengan jalan demonstrasi. Demokrasi mengakui unjuk rasa atau demonstrasi sebagai media partisipasi politik.

Demonstrasi macam apa? Tentu saja yang sejalan dengan semangat dan kaidah demokrasi. Salah satunya mesti memegang prinsip: nir kekerasan! Demonstrasi yang demokratik adalah yang sengaja ditata dan dijalankan dengan damai dan tanpa kekerasan.
Karena itu, jikapun kita mesti mengambil jalan untuk unjuk rasa, sangat baik jika kita konsisten dengan prinsip demokrasi: sistem yang mengakui keabsahan demonstrasi, yakni dengan memastikannya berlangsung secara damai. Jika berjalan damai, bukan saja telah konsisten menjalankan prinsip demokrasi, tetapi juga akan efisien ongkosnya dan malah bisa mengail simpati publik.
Namun demikian, sepenting dan sehebat apa pun unjuk rasa, lebih utama bagi setiap warga bangsa untuk unjuk prestasi. Bekerja keras dan berkarya yang terbaik adalah turbin penggerak kemajuan bangsa, termasuk keberhasilan pribadi-pribadi warganya. Kalau kita renungkan dengan dalam, agaknya tidak ada bangsa yang maju dan bermartabat lantaran sangat produktif berdemonstrasi. Kemajuan bangsa dan martabat rakyat dibangun di atas kerja keras, karya nyata, rukun, damai dan semangat kebersamaan.
Demonstrasi memang mesti tetap kita akui dan hargai. Anarki dan kekerasan yang harus konsisten kita tolak. Apalagi kalau anarki dan kekerasan itu adalah produk dari demonstrasi yang sudah menjadi “profesi”. Wallahu a’lam


[Kembali]

Guru Besar UI: Perlu Forum Pembangunan Sosial

Dikutip dari Harian Jurnal Nasional, Kamis, 07 Agustus 2008 by : Fauzan Hilal


GURU besar FISIP Universitas Indonesia (UI) Paulus Wirutomo mengatakan, untuk menciptakan pembangunan sosial yang lebih baik. Masyarakat harus membangun forum yang dapat menjadi tempat untuk menampung dan menciptakan apresiasi sehingga tidak selalu bergantung kepada kepala pemerintahan.
Palus mengungkapkan pembangunan harus dilakukan semua sektor, namun pembangunan tersebut jangan sampai menjadikan warga bergantung pada pimpinan. Kreasi dan motivasi dalam masyarakat harus dapat tercipta dari diri masyarakat itu sendiri. "Jangan hanya pimpinan saja yang dapat maju, namun masyarakat perlu menunjukan apa yang menjadi keinginan mereka," kata Paulus usai memberikan sambutan dalam acara Diskusi Forum Warga di Balai Kota Depok kemarin (6/8).
Menurut Paulus pengertian pembangunan sosial yang benar itu lebih dari sekadar pembangunan sektor. Dalam pembangunan sosial, harus termuat peningkatan interaksi dan hubungan sosial dalam masyarakat. Tanpa terjadi kualitas hubungan sosial dari langkah pembangunan sosial yang diambil, sulit mengatakan adanya pembangunan sosial. "Dengan mengikuti logika pembangunan sosial sebagai sektor, maka pembangunan sosial ini membutuhkan masukan berupa penyediaan anggaran, perlu pembiayaan. Dan mengikuti pemahaman pembangunan sosial sebagai charity, maka pembangunan sosial itu dianggap sebagai sebuah langkah yang tidak menghasilkan apa pun. Atau paling tidak output-nya dinyatakan tidak menghasilkan uang," ujar Paulus.
Selain itu dia mengatakan, dari tahun ke tahun masyarakat Indonesia sudah semakin cerdas dalam menyikapi segala permasalahan di lingkungannya. Hal itu terlihat dengan semakin banyaknya masyarakat yang berani mengungkapkan apresiasi. "Namun yang menjadi masalah, apresisi tersebut hanya disampaikan oleh orang itu-itu saja sehingga rawan ditunggangi oleh kalangan tertentu," katanya.
Menurut dia dengan adanya forum masyarakat maka apa yang manjadi kebutuhan masyarkat akan mudah terealisasi tanpa harus menguntungkan satu golongan. "Keinginan dan keperluan masyarakat tidak dapat diseragamkan, mereka memiliki kenginan dan kepentingan masing-masing untuk menjadi lebih baik. Keberanian mereka untuk mewujudkan itulah yang sebenarnya harus terus dikembangkan," ujar Paulus.
Hal serupa juga diungkapkan sosiolog UI Linda D Ibrahim, menurut dia dengan diikutsertakannya masyarakat dalam pembangunan secara langsung, akan menjadikan masyarakat merasa memiliki.
Dengan bersinggungan langsung dengan pemerintah, masyarakat akan merasa sebagai pelaku dari pembangunan negara. Karena selama ini, masyarakat hanya menerima fasilitas dari negara saja. "Dengan berkontribusi maka mereka akan dapat memiliki tanggung jawab," kata Linda.
Oleh karena itu menurut Linda masyarakat perlu diberikan technical skill atau kemampuan teknik untuk membangun lingkungan. "Masyarakat Indonesia memiliki kemampuan besar yang dapat membangun negara. Hanya saja kemampuan dan potensi yang mereka miliki harus lebih di gali," kata Linda.

[Kembali]

Senin, 04 Agustus 2008

Anggota DPD Sebaiknya Mewakili Suku

Politik - Hukum - Keamanan
Dikutip dari Harian Jurnal Nasional, Jakarta Senin, 04 Agt 2008, halaman 08.
by : Iman Syukri

PENGAMAT politik dari Universitas Bengkulu (Unib), Lahmir Syam Sinaga, menilai anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) seharusnya berasal dari suku-suku yang ada di Indonesia.
"Akan lebih tepat kalau anggota DPD itu, berasal dari suku-suku bangsa, karena lebih mewakili daerah, dibandingkan dari kalangan partai politik atau pun perseorangan," katanya ketika dikonfirmasi di Bengkulu, Sabtu (2/8). Menurut dia, tujuan pembentukan DPD dalam rangka memenuhi keterwakilan daerah di parlemen (MPR-red), dan yang "punya" daerah itu yakni suku-suku yang ada dimasing-masing daerah. Pemilihan calon yang akan maju sebagai anggota DPD, kata dia, diserahkan pada anggota suku tersebut, dan yang paling banyak dukungannya dia lah yang dimajukan. Kalau pada satu provinsi terdapat banyak suku, sedangkan jumlah anggota DPD hanya empat, menurut dia, bisa digilir. "Bisa digilir, tahun pertama empat suku dapat kebagian dan tahun berkutunya suku yang lainnya. Saya kira tidak ada masalah," katanya seperti dikutip Antara. Dengan diambil dari perwakilan suku-suku, kapasitas anggota DPD sebagai wakil daerah lebih terlihat, dan dalam memperjaungkan daerah juga tak ada kepentingan lain kecuali ingin memajukan daerahnya. Lamhir menilai, dengan sistem saat ini, maka sangat dimungkinkan anggota DPD yang mewakili satu daerah sebenarnya bukan berasal dari daerah tersebut. Dosen Fisipol Unib itu, juga menilai, seharusnya DPD berkantor di daerah masing-masing, dan baru ke Jakarta ketika diminitai saran atau diundang rapat oleh DPR atau MPR. "Yang terjadi sekarang, para anggota DPD berkantor di Jakarta, ini keliru, sebagai wakil daerah mereka harus berkantor di daerah sehingga bisa menampung aspirasi masyarakat yang diwakilinya," katanya. Karena itu, pemerintah tidak perlu menyediakan kantor untuk anggota DPD di Jakarta, cukup satu ruangan untuk pertemuan atau rapat.
by : Iman Syukri

Kamis, 31 Juli 2008

Reposisi Kedudukan Polri Terserah DPR

Keamanan Nasional
Dikutip dari Rubrik Politik & Hukum di Harian KOMPAS, Kamis, 31 Juli 2008 halaman 02.

Jakarta, Kompas - Terkait masalah reposisi kedudukan Polri, yang diatur dalam draf Rancangan Undang-Undang tentang Keamanan Nasional, Kepala Polri Jenderal (Pol) Sutanto menegaskan, hal itu diserahkan sepenuhnya kepada DPR dan masyarakat. Namun, pembahasan RUU itu masih panjang.
Sutanto mengemukakan sikapnya itu, Selasa (29/7), seusai mengikuti rapat koordinasi bidang politik, hukum, dan keamanan di Jakarta. Rapat dipimpin Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Widodo AS dan membahas naskah akademik draf RUU Keamanan Nasional yang diajukan Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas).
Menurut Sutanto, spektrum masalah keamanan dan ancaman sangat beragam dan dengan perbedaan tingkat eskalasi serta institusi penanggung jawab yang juga bervariasi. Isu penyebaran virus flu burung menjadi tanggung jawab Departemen Kesehatan, sedangkan terkait masalah kriminal adalah tanggung jawab Polri.
”Jika eskalasi masalah virus flu burung tadi meningkat, penanganannya bisa naik ke Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat dan dengan melibatkan semua pihak, termasuk TNI dan Polri. Cuma tinggal bagaimana menatanya sesuai kepentingan bangsa. Kami tak melihat (draf akademik dari Lemhannas) itu sebagai kompromi,” ujarnya.
Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono menyatakan, terkait RUU Keamanan Nasional, masih akan menunggu pembulatan naskah akademik dari Lemhannas. Namun, diakuinya, kemungkinan proses penyusunan draf RUU itu yang baru akan diserahkan kepada Departemen Pertahanan lagi.
”Tak ada yang namanya kompromi. Kami sepakat harus ada koordinasi antara masalah pertahanan dan keamanan. Semua itu cuma masalah penekanan saja, terutama Menteri Dalam Negeri dalam konteks keamanan dalam negeri, terutama tugas tataran kecil, termasuk polisi, bea cukai, dan imigrasi. Kalau keamanan luar negeri di TNI,” ujarnya.
Gubernur Lemhannas Muladi menambahkan, sejumlah kalangan dalam pemerintahan mengisyaratkan persetujuannya terhadap naskah akademik RUU yang ditawarkan Lemhannas. (dwa)

Kembali

Rabu, 30 Juli 2008

Pendidikan Berorientasi Damai Perlu Disemaikan

Pandangan
Dikutip dari Rubrik Internasional di Harian KOMPAS, Kamis, 31 Juli 2008, halaman 08

Jakarta, Kompas - Konflik di berbagai negara, khususnya di negara berpenduduk Muslim, menunjukkan makin pentingnya disemaikan pendidikan berorientasi damai. Umat manusia harus disadarkan, konflik itu bukan bagian dari sifat alami manusia karena justru, sebaliknya, tiap manusia menginginkan kedamaian.
Demikian rangkuman pandangan dari narasumber dan ulama yang menghadiri International Conference of Islamic Scholars (ICIS) Ke-3 yang dibuka Rabu (30/7) di Jakarta.
Sukree Langputeh dari Universitas Islam Yala, Thailand selatan, menguraikan, berbagai perguruan tinggi, badan pemerintah, dan organisasi kemasyarakatan menggunakan berbagai sumber daya untuk mempelajari konflik dan kekerasan. Namun, perhatian yang dicurahkan untuk membuat rencana aksi sistematik dan berkelanjutan prinsip damai relatif sedikit. ”Akibatnya, generasi demi generasi mengulang kesalahan generasi sebelumnya, hingga konflik kekerasan jadi bentuk permanen masyarakat,” ujarnya.
Mulai kerja sama
Menurut Mohtar Mas’oed, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada, sebenarnya berbagai upaya untuk memperluas pendidikan perdamaian telah dilakukan, tetapi masih setengah-setengah dan sporadis. Pendidikan perdamaian itu dipraktikkan dalam bentuk dialog antaragama (interfaith dialogue).
Dialog ini sudah banyak dilakukan meski sebenarnya masih banyak orang yang tak bisa membayangkan dialog antaragama itu seperti apa. ”Anak-anak muda sudah mulai banyak melakukan ini. Sekarang yang harus dilakukan adalah kerja sama antaragama. Jangan hanya dialog,” ujarnya.
Wakil Presiden Majelis Dakwah Islam Regional Asia Tenggara dan Pasifik di Australia Ameer Ali menambahkan, konflik dapat ditangani bersama-sama dengan komunitas agama yang lain. ”Jangan mengisolasi diri sendiri. Dialog seperti ini penting. Kita harus dapat jadi agen perubahan, tetapi kita harus bisa mengubah diri sendiri terlebih dahulu,” ujarnya. (OKI/MZW/LUK)

Kembali

Bahaya Departisipasi Publik

Oleh BUDIARTO DANUJAYA
Dikutip dari Rubrik OPINI di Harian KOMPAS, Kamis, 31 Juli 2008 halaman 06

Ironis kita mengalami intensitas eksesif golput justru di era penyelenggaraan politik yang lebih mencanangkan partisipasi, termasuk memungkinkan pemungutan suara lebih bebas dan langsung.
Fenomena ini penting disaksamai bukan hanya karena pertanda kemerosotan kualitas legitimasi otoritas politik yang terpilih, tetapi juga karena posibilitasnya sebagai penanda memudarnya derivat partisipasi lebih luas dalam keseharian kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Menurut prediksi Litbang Kompas, golput pada Pilkada Jatim (23/7) lalu mencapai 39,2 persen. Angka ini membuat rerata golput pada beberapa pilkada terakhir, yang bukan hanya padat pemilih tetapi secara historis juga kawasan sadar politik, mendekati 40 persen.
Sebelumnya, rekapitulasi golput pada Pilkada Banten mencapai 39,17 persen, DKI Jakarta 34,59 persen, Jawa Barat 32,7 persen, dan Jawa Tengah 41,5 persen (Kompas, 25/7). Belum terbilang angka partisipasi jauh di bawah 50 persen pada subkawasan tertentu.
Apakah departisipasi publik sedang melanda kita?
Luapan golput, yang mendekati ambang ketidaklayakan klaim rezim demokratis ini, bisa saja dibaca sekadar fenomena ”ogah” atau cuek. Namun, bisa juga, dan boleh jadi, sebuah pernyataan politik terpendam. Keseragaman intensitasnya menggoda prasangka betapa pemudaran hasrat publik untuk memercayai dan melibatkan diri sedang menggelinding.
Krisis legitimasi
Intensitas ini jelas bertabrakan dengan konstitutivitas demokrasi sebagai politik partisipatif yang mengagulkan keterlibatan rakyat banyak karena memercayai kebijakan mayoritas real. Karena itu, kecemasan akan konsekuensinya pada kemerosotan kualitas legitimasi otoritas politik terpilih masuk akal.
Luapan golput pada Pilkada Jabar (13/4) lalu, misalnya, gamblang mendemonstrasikan anomali proporsionalitas keterwakilan konstituensi karena ketidaksejajaran antara perkiraan konstituen real versus rekapitulasi elektoral yang sah. Situasi ini tampak jelas lewat luputnya prediksi prapilkada dari sejumlah lembaga survei terpercaya yang biasanya akurat.
Keluputan ini mungkin terjadi karena intensitas kekecewaan politis yang terbentuk, bermuara pada tingginya golput, bersifat ”baru saja” dan tidak terbagi proporsional. Intensitas kekecewaan pada ”pembangkangan” politis itu lebih tertuju kepada partai-partai besar, khususnya yang sedang berkuasa, karena anasir kausalnya bersifat aktual, katakanlah kebijakan ekonomi tertentu, seperti isu BBM.
Tampak, kemerosotan kualitas legitimasi berdampak nyata. Olok-oloknya, golputlah yang berkuasa dan terpilih karena memenangi pilkada sebenarnya. Namun, golput ”lupa” mengajukan calon.
Betapa pun, kualitas legitimasi juga bisa diremehkan hanya sebagai perkara legal- formal. Selain sulit dirasakan sangkut pautnya dengan denyut kehidupan nyata masyarakat luas, anggapan ini juga mudah mengemuka karena secara legal-formal hanya besaran persentase elektoral, yang dalam realitas tak pernah akan utuh. Dalam konteks itulah, memandang fenomena ini bukan sekadar perkara ancaman delegitimasi, tetapi juga bahaya departisipasi publik menjadi penting.
Penggandaan kapabilitas
Di negeri ini berbulan-bulan gerakan antipolitikus busuk diwacanakan, tetapi ada tersangka kejahatan korupsi atau HAM yang perkaranya masih menggantung, bahkan ada yang sempat terpidana, bisa mencalonkan diri, bahkan ada yang terpilih, tanpa ada yang peduli.
Bolak-balik terungkap kisah koruptor, yang seharusnya sudah dicekal, tahu-tahu lolos ke luar negeri dan tak kembali.
Sejumlah teroris terkemuka, yang wajahnya terpampang berhari-hari di koran dan televisi, dapat bertahun-tahun hidup aman tenteram sebagai warga biasa sebelum tertangkap. Banyak acara televisi bisa bertahan bertahun-tahun membodohi masyarakat, bahkan menyinggung perasaan bersusila atau beragama masyarakat luas sebelum dilarang. Banyak narapidana bebas kunjung, kluyar-kluyur keluar penjara, bahkan bisa pesan puluhan mangkok soto untuk merayakan ultahnya.
Banyak lagi perkara semacam itu terlambat diantisipasi karena, antara lain, banyak orang tak peduli. Penyelenggaraan kehidupan bersama, termasuk dalam pengawasan dan kepatuhan hukum semacam ini, terlalu bergantung pada lembaga-lembaga resmi karena tak jalannya partisipasi. Mungkinkah di antara 200 juta anak negeri tak ada yang lebih dini membaca, mengetahui, atau menyaksikan semua hal ini?
Ambang ke-cuek-an publik kita sudah mengkhawatirkan. Padahal, partisipasi orang banyak tak hanya merupakan muasal kekuasaan, tetapi juga sumber kekuatan negara—jadi, bukan hanya kapasitasnya, tetapi juga kapabilitasnya—dalam menyelenggarakan keseharian kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Penempatan sentral partisipasi ini sejajar dengan reinterpretasi teori politik kuno mengenai penghimpunan kuasa pada ”yang Satu” lewat penggandaan-tubuh. Hanya lewat keberhasilan proses partisipasilah, negara—termasuk penguasa/pemerintah dan aparatnya, sebagai yang semula terbatas—bisa mendadak memiliki banyak kepala, tangan, kaki, mata, dan telinga untuk merancang, menerapkan, serta mengontrol kehidupan ”orang banyak” dalam bermasyarakat dan bernegara (Bernard Flynn : 1995).
Jadi, negara hanya bisa mencapai kemajemukan kapabilitas kekuatannya, dan karena itu berarti kepenuhan kapasitas kekuasaannya, karena merupakan tiwikrama fantasmatik kemajemukan orang banyak: rakyat. Gamblangnya, kekuatan negara bukan hanya konsekuensi, tetapi juga identik dengan partisipasi rakyat.
Dalam konteks inilah intensitas golput perlu diwaspadai: sebuah suratan ke-cuek-an publik. Sebuah penanda memudarnya derivat partisipasi publik lebih luas dalam penyelenggaraan keseharian kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Manakala partisipasi sirna, sang kuasa kembali hanya bermata dua.

BUDIARTO DANUJAYA
Pengajar Filsafat Politik Departemen Filsafat FIB-UI

Kembali

Sabtu, 19 Juli 2008

Jauhi Ekstremisme

Dicuplik dari Rubrik Internasional di Harian KOMPAS, Jumat, 18 Juli 2008 halaman 11
MADRID, KAMIS, KOMPAS – Raja Abdullah dari Arab Saudi menyerukan kepada umat beragama agar menjauhi ekstremisme dan mengadakan rekonsiliasi. Raja Abdullah juga menyerukan dialog konstruktif untuk membuka halaman baru rekonsiliasi setelah begitu banyaknya perselisihan.

Pertemuan di Madrid pada 16-18 Juli yang disponsori Arab Saudi dimaksudkan untuk mendekatkan umat Muslim, Kristen, dan Yahudi serta mengisolasi orang-orang yang memanfaatkan agama untuk membenarkan kekerasan dan intoleransi. Madrid dipilih karena kota ini menjadi rumah bagi berkembangnya ketiga agama besar itu dalam harmoni selama berabad-abad.

Raja Abdullah mengatakan, upaya sebelumnya untuk menggelar dialog antaragama gagal karena hanya terfokus pada perbedaan agama. “Jika ingin berhasil dalam pertemuan historis ini, kita harus menekankan persamaan yang kita miliki, yaitu kepercayaan dan iman kepada Tuhan,” ujarnya, seperti dikutip Reuters, Kamis (17/7).
Selain umat ketiga agama, Raja Abdullah juga mengundang perwakilan umat Buddha, Hindu, dan Sikh. Peserta antara lain adalah mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair dan pendeta asal AS, Jesse Jackson.
Setelah upacara pembukaan, Rabu, dialog dilanjutkan dengan pertemuan tertutup. Sebuah komunike akhir akan dikeluarkan hari Jumat ini.

“Jika pertemuan ini bergerak maju dan ada pertemuan dengan perwakilan resmi Israel di Arab Saudi, ini akan menjadi permulaan bagus dalam sebuah proses historis. Jika tidak, ini hanya satu lagi kesempatan foto bersama,” kata Rabi David Rosen dari Komite Yahudi Amerika.
Presiden Kongres Yahudi Sedunia Ronald Lauder menyebut pertemuan itu signifikan. Kardinal Jean-Louis Tauran dari Vatikan menggambarkan dialog antaragama itu sebagai langkah yang penuh semangat.
“Ini adalah tugas pemimpin agama untuk bekerja bersama memperbaiki penghormatan nilai-nilai etis dan menghindari benturan peradaban,” kata Lauder.
Isu yang dibicarakan dalam pertemuan mencakup etika, keluarga, dan lingkungan.
(AFP/REUTERS/FRO)

Sulitnya Mencontoh Mandela

AFRIKA SELATAN
Dikutip dari Rubrik INTERNASIONAL di Harian KOMPAS, Jumat, 18 Juli 2008 halaman 10

Pesta dan bersulang, bersukacita, sekaligus bersyukur atas ulang tahun ke-90 Nelson Mandela terasa sejak hari Kamis (17/7) di seluruh Afrika Selatan. Sebenarnya, sukacita dan syukur bagi Mandela berlangsung di seantero dunia.

Bagi sebagian besar warga dunia, Nelson Mandela adalah seorang warga favorit. Para bintang dunia sejak akhir Juni sudah membuat pesta berkenaan dengan usia ke-90 tahun Mandela di Hyde Park, London. Mandela menjadi contoh sosok pengampun. Juga sosok pemimpin yang sukarela menyerahkan kekuasaan kepada yang lebih muda.

Dua contoh yang dibuat Mandela ini merupakan barang langka di mana saja. Tidak usah jauh-jauh. Di Indonesia, pengampun merupakan barang sangat langka. Membakar, membunuh, dan bertikai, tetap saja marak, dengan berbagai alasan yang kadang sangat sederhana. Jangankan menyerahkan kekuasaan, tidak ada yang mau mengalah meski jelas kalah dalam pemilu.
Dari apa yang dibuat Mandela, maka semangat dari merayakan usia 90 tahun Mandela adalah untuk lebih mengumandangkan lagi contoh-contoh baik pria humoris itu. Tidak pernah terlihat bahwa dia sudah beberapa dekade berada dalam tahanan pemerintahan apartheid kulit putih Afrika Selatan.

Pemerintah Afrika Selatan sudah mengeluarkan prangko dengan gambar Mandela, bagian dari kado ulang tahun. Surat kabar lokal memberikan halaman khusus yang bercerita soal semua sepak terjang negarawan sepuh yang sangat dicintai dunia ini. Mandela dan keluarganya merayakan syukur di Qunu, Provinsi Eastern Cape, tempat kelahirannya. Sekitar 500 orang akan hadir.
Radio lokal membacakan kembali biografi Mandela, ”Long Walk to Freedom” yang mengisahkan 27 tahun Mandela dalam tahanan pemerintahan kulit putih. Mandela kemudian memaafkan para mantan penguasa kulit putih, sebuah rekonsiliasi yang kini menjadi ikon bagi upaya untuk menyelesaikan sengketa internal di sesuatu negara.
Harian The Star memberikan halaman depan untuk 10 tahun perkawinan Mandela dengan Graca Machel, janda mantan Presiden Mozambik Samora Machel. Graca berusia 52 tahun saat memilih menikah dengan Mandela yang tepat berusia 80 tahun. Keduanya sangat bahagia.
Ndileka Mandela, cucu Mandela, menuturkan, keluarga memberikan “sebuah kejutan” bagi sang kakek di Qunu. “Kami tak ingin berlebihan, di mana bisa jadi bukan kejutan lagi sebelum acara ini dimulai,“ ujarnya. “Ini hari spesial bukan saja bagi dia (Mandela), tetapi juga bagi kami,“, lanjutnya.

Banyak pesan dan kesan sudah dilakukan di berbagai tempat di dunia berkenaan dengan ulang tahun ke-90 Mandela. Konser di Hyde Park, London, memang membuat Mandela bergembira karena menghasilkan sejumlah dana untuk yayasan AIDS/HIV miliknya.
Akan tetapi, suatu hal yang mungkin menjadi kado istimewa bagi Mandela, ketika contoh-contoh kepemimpinannya yang pengampun, tahu diri, bisa diteruskan banyak warga dunia ini.
Sesuatu yang menyedihkan, seperti ditulis Reuters, penguasa Afrika Selatan saat ini tidak menjalankan warisan Mandela. Thabo Mbeki, yang menjadi penerus Mandela, belakangan dikecam karena gagal mengatasi AIDS, kemiskinan, krisis energi, kriminalitas, dan krisis politik di tetangganya, Zimbabwe.
“Mandela mempersatukan negeri, Mbeki menghancurkannya,“ tulis Financial Mail soal kondisi Afrika Selatan saat ini. Mbeki juga mendukung pemerintahan tak demokratis Presiden Robert Mugabe di Zimbabwe.
Apa pun itu, sungguh sulit untuk bisa memapak jejak baik Nelson Mandela. (PPG)

Negara Jangan Campuri Urusan Keagamaan

Dicuplik dari Rubrik Politik & Hukum di Harian KOMPAS, Senin, 16 Juni 2008 halaman 2

Jakarta, KOMPAS – Kewenangan negara atas urusan keagamaan adalah mengadministrasikan apa yang menjadi keputusan kelompok agama. Jika sebuah lembaga umat beragama sudah membuat keputusan, negara hanya mencatat keputusan itu. Negara tidak berhak membuat keputusan tentang agama yang diputuskan kelompok umat beragama.

“Pasalnya, ketika negara masuk dan ikut sebagai penafsir dan membuat keputusan tentang agama, kepala negara menjadi pemimpin agama. Padahal, Indonesia bukanlah negara agama yang pemimpin negaranya juga menjadi pemimpin agama”, ujar Ketua Badan Penelitian dan Pengembangan Partai Amanat Nasional Sayuti Asyathri dalam diskusi tentang agama dan kenegaraan di Jakarta, Jumat (13/6).
“Misalnya, ketika semua umat Islam meminta semua yang bermerk Islam harus mengikuti aturannya, negara tidak berhak membuat tafsir keputusan, apalagi jika keputusan itu berbeda dengan aspirasi yang ada. Negara harus mengikutinya”, ujarnya.

Dalam praktiknya, kata Sayuti, terlepas dari problem kelembagaan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang dinilai belum sepenuhnya menaungi aspirasi umat Islam, MUI seharusnya menjadi lembaga payung yang mempunyai otoritas dalam soal keagamaan. Dengan demikian, pemerintah tak membuat keputusan yang berbeda dari kesepakatan umat.
Menurut Suyuti, kebijakan negara dibutuhkan ketika ada problem eksternalitas antarkelompok beragama, sedangkan keputusan dalam internal agama harus diselesaikan sendiri dan tidak boleh ada campur tangan kelompok agama lain atau pun negara.

Secara terpisah, Juru Bicara Hisbut Tahrir Indonesia (HTI) Ismail Yusanto mengatakan, HTI bisa menerima surat keputusan bersama sebagai sebuah proses yang dilakukan pemerintah dalam mengambil tindakan. Namun pemerintah harus terus didorong untuk lebih tegas lagi. (MAM)