DEPOK, KOMPAS - Pikiran orang Indonesia dikuasi oleh budaya konflik. Kita lebih tahu cara, teknik, dan strategi berkonflik ketimbang cara dan strategi berkolaborasi atau bekerja sama dengan pihak lain.
Demikian dinyatakan Prudensius Maring menjawab pertanyaan, kenapa Indonesia terus dilanda konflik, yang diajukan salah seorang penyanggah dalam sidang terbuka promosi doktor antropologi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Kamis (10/7).
Di ranah akademis, ilmuwan sosial lebih banyak melakukan kajian-kajian tentang konflik ketimbang kajian-kajian tentang kolaborasi. Karenanya, para akademisi juga ikut bertanggung jawab atas tidak munculnya aspek kolaborasi dalam berbagai konflik—sering disertai kekerasan.
”Untuk mewujudkan Indonesia yang damai, kita perlu lebih kembangkan pikiran tentang kolaborasi,” kata Prudensius. Disertasinya berjudul ”Hubungan Kekuasaan: Konflik, Perlawanan, dan Kolaborasi dalam Penguasaan Hutan di Egon, Flores”.
Menggunakan teori kekuasaan Michael Foucault, dalam penelitiannya, Maring menemukan, di kawasan hutan Gunung Egon bukan hanya terjadi konflik antara pemerintah dan masyarakat setempat, tetapi masyarakat adat juga sering berkolaborasi dengan pemerintah agar dapat memanfaatkan secara optimal lahan dan sumber daya lainnya.
Kehadiran badan nonpemerintah atau lembaga swadaya masyarakat (LSM) ternyata tidak selalu disambut baik masyarakat. ”LSM yang hidup dari dana luar negeri dianggap mewakili kepentingan asing,” tutur Maring yang menyusun disertasi dengan promotor Prof Dr Achmad Fedyani Saifuddin. Maring lulus dengan predikat summa cum laude.
Di FISIP UI, kemarin, juga berlangsung sidang promosi doktor Djainal Abidin S, peneliti dan koordinator pelatihan di Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi UI dengan disertasi berjudul ”Modal Sosial dan Dinamika Usaha Mikro Kecil (UMK): Suatu Studi Sosiologi Ekonomi di Perkampungan Industri Kecil Jakarta”. (muk)
[Kembali]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar