Sabtu, 06 September 2008

Hanya 29 Persen Pekerja Formal Anggota Serikat Buruh

Ketenagakerjaan
Diunduh dari Harian KOMPAS, Sabtu, 30 Agustus 2008

Jakarta, Kompas - Data Badan Pusat Statistik menyebutkan, dari 28,52 juta pekerja sektor formal, hanya 29 persen atau 8,28 juta orang yang terdaftar sebagai anggota serikat buruh. Padahal, dengan berserikat akan lebih mudah bagi buruh memperjuangkan haknya, seperti yang dinyatakan UU Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Buruh/Serikat Pekerja.

Tren meningkatnya buruh kontrak dan masih minimnya pemahaman terhadap serikat buruh membuat sebagian besar buruh belum bergabung dalam serikat buruh. Adapun pekerja formal yang menjadi anggota serikat buruh bergabung dengan 87 federasi serikat buruh yang berafiliasi dalam tiga konfederasi. Namun, ada pula serikat buruh yang tidak berafiliasi.

Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (K-SPSI) tercatat sebagai organisasi pekerja dengan anggota terbanyak, disusul Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (K-SBSI).

Presiden K-SBSI Rekson Silaban, Jumat (29/8) di Makassar, menyatakan, selain belum dipahaminya peran serikat pekerja, status buruh kontrak juga menjadi penyebab buruh tidak tertarik untuk berserikat.

”Sistem kerja kontrak membuat masa depan buruh tidak pasti, mudah kehilangan pekerjaan. Ini membuat mereka enggan menjadi anggota serikat. Pemerintah harus memerhatikan hal ini. Semestinya mereka harus berorganisasi untuk memperjuangkan hak-haknya,” paparnya.

Situasi di Indonesia berbeda dengan di Uni Eropa dan Korea Selatan. Serikat buruh di sana sangat kuat dan buruh harus menjadi anggota serikat untuk menjamin hak-hak normatifnya.

”Buruh di Eropa tidak bisa mengambil tunjangan pengangguran saat tidak bekerja kalau tidak punya kartu anggota serikat. Ini membuat serikat buruh kuat sehingga produktivitas pun meningkat,” ujar Rekson.

Menurut Presiden KSPI Thamrin Moosi, rendahnya minat para pekerja sektor formal untuk berserikat adalah akibat tingginya praktik kriminalisasi terhadap pekerja. Oknum pemerintah membiarkan hal itu terjadi.

”Pelanggaran terhadap serikat pekerja masih terjadi. Terakhir, ada pekerja di Bogor yang membentuk serikat pekerja malah dikerjai manajemennya, sampai akhirnya terkena pemutusan hubungan kerja. Kondisi ini kurang kondusif bagi kebebasan berserikat,” tuturnya. (ham)

[ Kembali ]

Serikat Buruh Masih Belum Utuh Dipahami

Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 29 Agustus 2008

Jakarta, Kompas - Sejak Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh terbit, jumlah organisasi buruh meningkat tajam dari awalnya hanya satu, yakni Serikat Pekerja Seluruh Indonesia atau SPSI. Walau sebagian pengusaha mulai menerima keberadaan serikat buruh di lingkungannya, aktivis buruh masih menghadapi berbagai tantangan karena masih ada pihak yang belum memahami fungsi mereka secara utuh.

Demikian terungkap dalam seminar Organisasi Buruh Internasional (International Labour Organization/ILO) bertajuk ”10 Tahun Peringatan Ratifikasi Konvensi Kebebasan Berserikat 1998- 2008”, Kamis (28/8) di Jakarta.

Hasil verifikasi Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, terdapat 87 federasi serikat buruh yang berafiliasi ke Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (K-SPSI), Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (K-SBSI), dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI).

Indonesia adalah negara pertama di Asia yang meratifikasi Konvensi Pokok ILO Nomor 87 tentang Kebebasan Berserikat pada tahun 1998. Pemerintah kemudian menerbitkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

Presiden K-SBSI Rekson Silaban mengatakan, kriminalisasi aktivis serikat buruh masih terjadi. Hal ini menunjukkan penegakan hukum masih belum berjalan.

”Jika sudah ada penegakan hukum, pasti tidak ada yang berani menghalangi kebebasan berserikat. Pemerintah harus tegas soal ini,” kata Rekson.

Presiden KSPI Thamrin Moosi mengatakan, anggota serikat pekerja tidak hanya menghadapi teror dari manajemen, tetapi juga dari oknum pemerintah.

Menurut Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hasanuddin Rachman, kebebasan berserikat saat ini jauh lebih baik dibandingkan dengan 10 tahun yang lalu. Akan tetapi, dia menyesalkan masih banyak aktivis serikat buruh yang kebablasan dalam berorganisasi.

”Pengusaha dan buruh seharusnya bersatu untuk mewujudkan negara yang sejahtera. Bukan malah terus bertengkar,” tuturnya. (ham)

[ Kembali ]

Selasa, 02 September 2008

Ode untuk Ciil, Suamiku

Diunduh dari Harian KOMPAS, Rabu, 3 September 2008.

Oleh
Kartini Sjahrir

Ciil itu ibarat air, mengalir tak henti. Dia tidak memandang di mana berada, dan tak mempermasalahkan dengan siapa dia berhadapan.

Bagi dirinya, semua orang adalah sama. Status sosial tak terlalu dipedulikan. Ia bergaul dengan siapa saja dan dari berbagai kalangan. Seperti air, ia pun tidak terkotak-kotak dan mengotakkan diri pada satu atau beberapa aliran pemikiran dalam ilmu pengetahuan.

Mencintai dunia akademis

Ketika masih kuliah di Harvard, ia amat mengagumi Samuel Huntington dan pemikirannya. Semua buku Huntington, dia lalap dengan cepat. Saya bahkan terkena imbasnya, disuruh (jika tak hendak mengatakan di-”paksa”) membacanya saat saya mengambil mata kuliah antropologi politik di Boston University. Namun, pada saat sama, ia juga mengkritik pandangan Huntington yang disampaikan langsung kepadanya.

Dia juga mengagumi Prof Stanley Hoffman, pakar politik ekonomi Rusia dan Eropa Timur. Ia belajar mengenai pembuatan policy dari Prof Jack Montgomery, ahli kebijakan publik (public policy), di mana Ciil sendiri pernah menjadi asistennya selama tiga tahun. Ciil juga berguru kepada Prof Richard Musgrave tentang public finance. Ia juga menyukai Francis Fukuyama dalam buku The Great Disruption, seperti kekagumannya terhadap tulisan dan buku Kenneth Galbraith seperti The Affluent Society. Saya rada yakin Ciil hafal titik koma isi buku itu.

Pada awal tahun 2000, ia berteman dengan Prof Paul Krugman, kolumnis ekonomi The New York Times, dan profesor ekonomi dari Princeton. Ciil bahkan mengundang Krugman dua kali datang ke Indonesia untuk berceramah bersama antara lain Marie Pangestu. Ia juga menyukai pikiran ”kiri” Richard Robinson, seperti halnya ia tertarik dengan jalan pikiran Hal Hil dan Ann Booth dari Australia.

Cukup banyak mazhab dalam ilmu ekonomi yang membuat Ciil menatap kagum meski ia mungkin berbeda pendapat dengan sejumlah mazhab itu. Baginya yang terpenting bukan mempelajari perbedaan yang ada, tetapi mengupayakan bagaimana mengelola perbedaan itu bagi kepentingan pembuatan kebijakan publik. Lima tahun terakhir, pemikirannya banyak dipengaruhi pemenang hadiah Nobel Ekonomi Amartya Sen. Hampir semua buku Amartya dikoleksi dan dibaca berulang-ulang, diulas, dikomentari, dan didiskusikan.

Pada dasarnya, Ciil amat mencintai dunia akademis. Ia menyukai peran sebagai dosen dan penulis. Setiap kali ada ide menarik, ia ingin segera melukiskannya. Ide itu dapat datang kapan saja dan di mana saja. Biasanya ia mendikte ide itu langsung dari tempat dia berada: dari mobil, restoran, atau dari Bakoel Coffee, tempat favoritnya untuk minum kopi pada sore hari.

Berikut ilustrasi saat Ciil menelepon Poppy, sekretarisnya, ”Hallo Poppeke, di mana posisi? di kantor? Ok, tolong segera di komputer, aku mau dikte–cepetan! Jangan lebih lama dari 5 menit. Siap? Sekarang aku mulai….” Mulailah ide keluar seperti air mancur. Begitu selesai: ”Ada yang terlewat Pop? Ok kan semua? Tolong print out-kan ya. Aku balik kantor satu jam lagi….” Begitu Ciil kembali ke kantor, draf tulisan sudah siap dikoreksi. Ciil sendiri tidak pandai mengetik meski amat ingin karena jari-jari tangannya lebih besar daripada tuts komputer.

Perbedaan itu indah

Ibarat air mengalir, Ciil adalah sebuah mosaik. Bermacam ide, pikiran, dan aktivitas menjadi satu dalam tubuhnya yang subur. Ia memiliki karakter yang saya sebut ”pluralistik”.

Menurut Ciil, semua orang adalah sama dan perbedaan bukan untuk dipertentangkan, dikelola saksama. Perbedaan itu indah karena membentuk berbagai corak dan warna dalam suatu sinergi yang serasi. Ia sering mengutip istilah dari sahabatnya, Rocky Gerung, yang mengatakan, orang diukur berdasarkan ”ayat konstitusi” dalam suatu negara demokratis. Bukan dari ”ayat- ayat suci”. Bagi Ciil, agama adalah sesuatu yang teramat suci yang tidak boleh ditransaksikan secara politik. Hubungan seseorang dengan pencipta-Nya adalah sesuatu yang amat pribadi dan sakral.

Sikapnya yang amat mendukung kemajemukan inilah yang kemudian mendorong Ciil membangun Partai Perjuangan Indonesia Baru pada tahun 2002, selain pemahaman tentang pentingnya kemakmuran ekonomi berlandaskan keadilan sosial, seperti pemikiran Amartya Sen. Dengan mesin politik ini, menurut Ciil, teman-teman yang sepaham mau dan bersedia keluar dari ”sarang nyaman” (comfort zone) untuk membawa Indonesia ke arah yang lebih baik dan berkeadilan. Pada Pemilu 2004, ia memberikan kesempatan bagi kaum perempuan dan minoritas Tionghoa untuk menduduki kursi nomor 1 dan 2. Hingga tak mengherankan, anggota-anggota DPRD 1 dan 2 Partai PIB banyak yang perempuan dan Tionghoa.

Keluarga

Ciil adalah anak tunggal dari keluarga yang ayah-ibunya bercerai. Pengalaman pahit masa kecil begitu membekas sehingga membuat dia bertekad untuk membangun keluarga yang bahagia. Saya dan anak-anak betul- betul dilimpahi kasih sayang dan perhatian dengan segala kelucuan dan kekonyolan khas Ciil. Baginya, keluarga adalah segala-galanya. Ciil menjadi guru dan mentor utama bagi pendidikan kedua anak kami: Pandu dan Gita. Ia melatih anak-anak berdebat dan berdiskusi sejak kecil. Setiap tahun sambil berlibur, ia melakukan swot meeting dengan anak- anak dan saya. SWOT adalah S: strength (kekuatan), W: weakness (kelemahan), O: opportunities (kesempatan) dan T: threat (ancaman).

Dalam swot meeting, ia membahas berbagai hal dengan anak- anak, mulai soal di sekolah sampai pergaulan anak muda. Ciil juga membuka diri untuk dikritik secara terbuka oleh anak-anak. Saya ingat, kritik anak-anak kepada Ciil setiap tahun adalah ”ayah terlalu gemuk”, ”ayah terlalu mau ngatur semua”, atau ”ayah kayak kepala suku, semua orang mau diurusin”, atau saat anak- anak mulai besar, mereka bilang ”ayah terlalu baik dan terlalu percaya bahwa semua orang seperti ayah....”

Meski sesudah anak-anak besar dan menempuh studi S-2, ia juga mengeluh kepada saya bahwa anak-anak, terutama Gita, amat pandai mendebat dan dia sering kewalahan menjawab. Saya menangkap ada rasa bangga di dalamnya. Berulang kali dia sampaikan, saat kami duduk berdua berbincang-bincang, bahwa sebetulnya tidak ada lagi yang dia cari dalam hidupnya. Bagi Ciil, achievement dia yang terbesar adalah keberhasilan dari pendidikan dan pembentukan karakter kedua anak kami.

Air itu berhenti mengalir pada Senin, 28 Juni 2008, pukul 09.08 di Rumah Sakit Mt Elizabeth, Singapura. Jam Ciil berhenti berdetak. Perjuangannya melawan sakit yang tiba-tiba datang menyergap usai sudah. Wajahnya tenang dan damai dalam pelukan kami: Pandu, Abdul (calon menantu), dan saya, seolah berkata: ”… aku mengalir terus dalam jiwa dan semangat, dalam cita-cita dan pengharapanku….”

Empat puluh hari kau telah meninggalkan kami. Selamat jalan Ciil….

Kartini Sjahrir Istri (alm) Dr Sjahrir; Antropolog lulusan Boston University, AS; Ketua Umum Partai PIB

[ Kembali ]