Jakarta, Kompas - Data Badan Pusat Statistik menyebutkan, dari 28,52 juta pekerja sektor formal, hanya 29 persen atau 8,28 juta orang yang terdaftar sebagai anggota serikat buruh. Padahal, dengan berserikat akan lebih mudah bagi buruh memperjuangkan haknya, seperti yang dinyatakan UU Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Buruh/Serikat Pekerja.
Tren meningkatnya buruh kontrak dan masih minimnya pemahaman terhadap serikat buruh membuat sebagian besar buruh belum bergabung dalam serikat buruh. Adapun pekerja formal yang menjadi anggota serikat buruh bergabung dengan 87 federasi serikat buruh yang berafiliasi dalam tiga konfederasi. Namun, ada pula serikat buruh yang tidak berafiliasi.
Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (K-SPSI) tercatat sebagai organisasi pekerja dengan anggota terbanyak, disusul Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (K-SBSI).
Presiden K-SBSI Rekson Silaban, Jumat (29/8) di Makassar, menyatakan, selain belum dipahaminya peran serikat pekerja, status buruh kontrak juga menjadi penyebab buruh tidak tertarik untuk berserikat.
”Sistem kerja kontrak membuat masa depan buruh tidak pasti, mudah kehilangan pekerjaan. Ini membuat mereka enggan menjadi anggota serikat. Pemerintah harus memerhatikan hal ini. Semestinya mereka harus berorganisasi untuk memperjuangkan hak-haknya,” paparnya.
Situasi di Indonesia berbeda dengan di Uni Eropa dan Korea Selatan. Serikat buruh di sana sangat kuat dan buruh harus menjadi anggota serikat untuk menjamin hak-hak normatifnya.
”Buruh di Eropa tidak bisa mengambil tunjangan pengangguran saat tidak bekerja kalau tidak punya kartu anggota serikat. Ini membuat serikat buruh kuat sehingga produktivitas pun meningkat,” ujar Rekson.
Menurut Presiden KSPI Thamrin Moosi, rendahnya minat para pekerja sektor formal untuk berserikat adalah akibat tingginya praktik kriminalisasi terhadap pekerja. Oknum pemerintah membiarkan hal itu terjadi.
”Pelanggaran terhadap serikat pekerja masih terjadi. Terakhir, ada pekerja di Bogor yang membentuk serikat pekerja malah dikerjai manajemennya, sampai akhirnya terkena pemutusan hubungan kerja. Kondisi ini kurang kondusif bagi kebebasan berserikat,” tuturnya. (ham)
[ Kembali ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar