Sabtu, 19 Juli 2008

Negara Jangan Campuri Urusan Keagamaan

Dicuplik dari Rubrik Politik & Hukum di Harian KOMPAS, Senin, 16 Juni 2008 halaman 2

Jakarta, KOMPAS – Kewenangan negara atas urusan keagamaan adalah mengadministrasikan apa yang menjadi keputusan kelompok agama. Jika sebuah lembaga umat beragama sudah membuat keputusan, negara hanya mencatat keputusan itu. Negara tidak berhak membuat keputusan tentang agama yang diputuskan kelompok umat beragama.

“Pasalnya, ketika negara masuk dan ikut sebagai penafsir dan membuat keputusan tentang agama, kepala negara menjadi pemimpin agama. Padahal, Indonesia bukanlah negara agama yang pemimpin negaranya juga menjadi pemimpin agama”, ujar Ketua Badan Penelitian dan Pengembangan Partai Amanat Nasional Sayuti Asyathri dalam diskusi tentang agama dan kenegaraan di Jakarta, Jumat (13/6).
“Misalnya, ketika semua umat Islam meminta semua yang bermerk Islam harus mengikuti aturannya, negara tidak berhak membuat tafsir keputusan, apalagi jika keputusan itu berbeda dengan aspirasi yang ada. Negara harus mengikutinya”, ujarnya.

Dalam praktiknya, kata Sayuti, terlepas dari problem kelembagaan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang dinilai belum sepenuhnya menaungi aspirasi umat Islam, MUI seharusnya menjadi lembaga payung yang mempunyai otoritas dalam soal keagamaan. Dengan demikian, pemerintah tak membuat keputusan yang berbeda dari kesepakatan umat.
Menurut Suyuti, kebijakan negara dibutuhkan ketika ada problem eksternalitas antarkelompok beragama, sedangkan keputusan dalam internal agama harus diselesaikan sendiri dan tidak boleh ada campur tangan kelompok agama lain atau pun negara.

Secara terpisah, Juru Bicara Hisbut Tahrir Indonesia (HTI) Ismail Yusanto mengatakan, HTI bisa menerima surat keputusan bersama sebagai sebuah proses yang dilakukan pemerintah dalam mengambil tindakan. Namun pemerintah harus terus didorong untuk lebih tegas lagi. (MAM)

Tidak ada komentar: