Jumat, 08 Agustus 2008

Manusia Indonesia Dikuasai Budaya Konflik

Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 11 Juli 2008.


DEPOK, KOMPAS - Pikiran orang Indonesia dikuasi oleh budaya konflik. Kita lebih tahu cara, teknik, dan strategi berkonflik ketimbang cara dan strategi berkolaborasi atau bekerja sama dengan pihak lain.
Demikian dinyatakan Prudensius Maring menjawab pertanyaan, kenapa Indonesia terus dilanda konflik, yang diajukan salah seorang penyanggah dalam sidang terbuka promosi doktor antropologi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Kamis (10/7).
Di ranah akademis, ilmuwan sosial lebih banyak melakukan kajian-kajian tentang konflik ketimbang kajian-kajian tentang kolaborasi. Karenanya, para akademisi juga ikut bertanggung jawab atas tidak munculnya aspek kolaborasi dalam berbagai konflik—sering disertai kekerasan.
”Untuk mewujudkan Indonesia yang damai, kita perlu lebih kembangkan pikiran tentang kolaborasi,” kata Prudensius. Disertasinya berjudul ”Hubungan Kekuasaan: Konflik, Perlawanan, dan Kolaborasi dalam Penguasaan Hutan di Egon, Flores”.
Menggunakan teori kekuasaan Michael Foucault, dalam penelitiannya, Maring menemukan, di kawasan hutan Gunung Egon bukan hanya terjadi konflik antara pemerintah dan masyarakat setempat, tetapi masyarakat adat juga sering berkolaborasi dengan pemerintah agar dapat memanfaatkan secara optimal lahan dan sumber daya lainnya.
Kehadiran badan nonpemerintah atau lembaga swadaya masyarakat (LSM) ternyata tidak selalu disambut baik masyarakat. ”LSM yang hidup dari dana luar negeri dianggap mewakili kepentingan asing,” tutur Maring yang menyusun disertasi dengan promotor Prof Dr Achmad Fedyani Saifuddin. Maring lulus dengan predikat summa cum laude.
Di FISIP UI, kemarin, juga berlangsung sidang promosi doktor Djainal Abidin S, peneliti dan koordinator pelatihan di Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi UI dengan disertasi berjudul ”Modal Sosial dan Dinamika Usaha Mikro Kecil (UMK): Suatu Studi Sosiologi Ekonomi di Perkampungan Industri Kecil Jakarta”. (muk)

Kamis, 07 Agustus 2008

Voting dan Demokrasi Pancasila

by : Anas Urbaningrum
Dikutip dari Kolom Sudut Pandang, di Harian Jurnal Nasional, Jakarta Jum'at, 13 Jun 2008
Dalam seminar Gerakan Jalan Lurus mengenai demokrasi yang sesuai dengan sila keempat Pancasila beberapa waktu lalu, Sri Sultan Hamengku Buwono X menyoal demokrasi berdasarkan voting. Apa soalnya? Voting tidak berdasarkan falsafah musyawarah mufakat, tidak sejalan dengan semangat kebersamaan dan menghasilkan mayoritas dan minoritas. Elite-elite politik mengedepankan voting, padahal rakyat menyukai harmoni.Saya agak berbeda dengan Ngarso Dalem Sultan. Ketika kita memilih jalan demokrasi, maka voting tidak bisa ditolak. Demokrasi Pancasila, saya setuju, mengedepankan musyawarah mufakat. Inilah semangat mencari titik temu dalam proses pengambilan keputusan. Jika bisa dimusyawarahkan, mufakatlah jalannya.Tetapi voting tidak bertentangan dengan semangat kebersamaan. Voting tidak bermakna perusak harmoni. Voting bukan lawan kebersamaan. Voting adalah metode untuk memutus sesuatu, jika musyawarah tidak berhasil memproduksi kata mufakat. Jadi, soalnya bukan voting. Perkaranya apakah kita dewasa dalam mempraktikkan voting? Demokrasi Pancasila kita justru harus mendewasakan diri dengan mewajarkan voting: dalam menjalankan dan menerima hasil voting. Saya menduga, kalau kita terlalu pekat memuja mufakatisme akan menghambat tumbuhnya kedewasaan dalam mempraktikkan voting. Artinya, bisa menjadi kontributor bagi munculnya sikap kanak-kanak: marah dan dendam lantaran kalah voting. Saya tidak melihat voting akan merusak kecenderungan rakyat menyukai harmoni. Rakyat tidak begitu peduli, apakah para elite mengambil keputusan dengan mufakat atau pemungutan suara. Yang penting keputusan itu berfaedah bagi rakyat. Rakyat kita cukup dewasa, karena ditempa pengalaman panjang tentang konflik. Rakyat sudah kenyal dan sanggup menerima perbedaan secara dewasa. Yang acapkali kurang dewasa adalah para elite yang disandera hawa nafsu politik jangka pendek, sesaat dan tidak kuasa menerima kekalahan. Bagi elite yang "kanak-kanak", rakyat menjadi bahan bakar bagi sikap dan perilakunya yang menggelikan. Rakyat dihasut, dimanipulasi, dimobilisasi dan dijadikan alasan untuk memoles kepentingan politiknya.
Karena itu, kita justru harus mulai berani membangun kebersamaan dan harmoni di tengah tradisi baru berdemokrasi, termasuk ketika harus voting. Basisnya sederhana: sanggup menerima kemenangan dan kekalahan secara dewasa. Menang tidak pongah, kalah tidak marah-marah. Menang secara elegan, kalah terhormat. Lantaran itu, mufakat maupun pemungutan suara sama derajatnya di hadapan demokrasi Pancasila. Mufakat dan voting sama-sama memberi ruang memadai bagi kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan-perwakilan. Wallahu a`lam


[Kembali]

Demonstrasi Demokratik

by : Anas Urbaningrum
Dikutip dari Kolom Sudut Pandang, di Harian Jurnal Nasional, Jakarta Jum'at, 27 Jun 2008
Jika ada kompetisi produktivitas demonstrasi (kuantitatif) antarnegara demokrasi, rasanya Indonesia akan masuk ke jajaran atas. Sangat mungkin untuk menyabet medali. Siapa tahu malah kebagian medali emas. Apalagi kalau kompetisinya dengan durasi waktu 10 tahun terakhir: luar biasa prestasi kita. Setiap tahun kita akan berjaya di fora internasional, seperti layaknya olimpiade fisika, kimia, dan matematika yang setiap kali mengharumkan nama bangsa.
Sayang, olimpiade demonstrasi tidak pernah diselenggarakan. Agaknya akal sehat memang tidak memberikan ruang bagi kompetisi semacam itu. Maknanya adalah banyak-banyakan, hebat-hebatan, keras-kerasan berdemonstrasi adalah bukan ukuran kehebatan suatu bangsa. Berbeda dengan olimpiade pelajar, olimpiade yang akan berlangsung di China tahun ini, Piala Eropa, Piala Dunia, dan sebagainya. Beberapa contoh terakhir memang sesuatu yang bermakna pertarungan prestasi dan kebanggaan.
Kalau coba kita hitung 10 tahun terakhir, sudah berapa kali demonstrasi terjadi di seluruh pelosok negeri kita. Berapa ongkos yang sudah dikeluarkan: waktu, tenaga, kemarahan, provokasi, pengamanan, luka-luka, kemacetan, ketakutan, kerusakan, dan sebagainya. Sangat mungkin ongkos totalnya sudah sangat besar: puluhan atau bahkan ratusan triliun.
Apakah demonstrasi tidak boleh diberi tempat?
Bukan begitu jalan pikirannya. Pendirian demokrasi selalu akomodatif terhadap ruang bagi ekspresi politik warganya. Termasuk dengan jalan demonstrasi. Demokrasi mengakui unjuk rasa atau demonstrasi sebagai media partisipasi politik.

Demonstrasi macam apa? Tentu saja yang sejalan dengan semangat dan kaidah demokrasi. Salah satunya mesti memegang prinsip: nir kekerasan! Demonstrasi yang demokratik adalah yang sengaja ditata dan dijalankan dengan damai dan tanpa kekerasan.
Karena itu, jikapun kita mesti mengambil jalan untuk unjuk rasa, sangat baik jika kita konsisten dengan prinsip demokrasi: sistem yang mengakui keabsahan demonstrasi, yakni dengan memastikannya berlangsung secara damai. Jika berjalan damai, bukan saja telah konsisten menjalankan prinsip demokrasi, tetapi juga akan efisien ongkosnya dan malah bisa mengail simpati publik.
Namun demikian, sepenting dan sehebat apa pun unjuk rasa, lebih utama bagi setiap warga bangsa untuk unjuk prestasi. Bekerja keras dan berkarya yang terbaik adalah turbin penggerak kemajuan bangsa, termasuk keberhasilan pribadi-pribadi warganya. Kalau kita renungkan dengan dalam, agaknya tidak ada bangsa yang maju dan bermartabat lantaran sangat produktif berdemonstrasi. Kemajuan bangsa dan martabat rakyat dibangun di atas kerja keras, karya nyata, rukun, damai dan semangat kebersamaan.
Demonstrasi memang mesti tetap kita akui dan hargai. Anarki dan kekerasan yang harus konsisten kita tolak. Apalagi kalau anarki dan kekerasan itu adalah produk dari demonstrasi yang sudah menjadi “profesi”. Wallahu a’lam


[Kembali]

Guru Besar UI: Perlu Forum Pembangunan Sosial

Dikutip dari Harian Jurnal Nasional, Kamis, 07 Agustus 2008 by : Fauzan Hilal


GURU besar FISIP Universitas Indonesia (UI) Paulus Wirutomo mengatakan, untuk menciptakan pembangunan sosial yang lebih baik. Masyarakat harus membangun forum yang dapat menjadi tempat untuk menampung dan menciptakan apresiasi sehingga tidak selalu bergantung kepada kepala pemerintahan.
Palus mengungkapkan pembangunan harus dilakukan semua sektor, namun pembangunan tersebut jangan sampai menjadikan warga bergantung pada pimpinan. Kreasi dan motivasi dalam masyarakat harus dapat tercipta dari diri masyarakat itu sendiri. "Jangan hanya pimpinan saja yang dapat maju, namun masyarakat perlu menunjukan apa yang menjadi keinginan mereka," kata Paulus usai memberikan sambutan dalam acara Diskusi Forum Warga di Balai Kota Depok kemarin (6/8).
Menurut Paulus pengertian pembangunan sosial yang benar itu lebih dari sekadar pembangunan sektor. Dalam pembangunan sosial, harus termuat peningkatan interaksi dan hubungan sosial dalam masyarakat. Tanpa terjadi kualitas hubungan sosial dari langkah pembangunan sosial yang diambil, sulit mengatakan adanya pembangunan sosial. "Dengan mengikuti logika pembangunan sosial sebagai sektor, maka pembangunan sosial ini membutuhkan masukan berupa penyediaan anggaran, perlu pembiayaan. Dan mengikuti pemahaman pembangunan sosial sebagai charity, maka pembangunan sosial itu dianggap sebagai sebuah langkah yang tidak menghasilkan apa pun. Atau paling tidak output-nya dinyatakan tidak menghasilkan uang," ujar Paulus.
Selain itu dia mengatakan, dari tahun ke tahun masyarakat Indonesia sudah semakin cerdas dalam menyikapi segala permasalahan di lingkungannya. Hal itu terlihat dengan semakin banyaknya masyarakat yang berani mengungkapkan apresiasi. "Namun yang menjadi masalah, apresisi tersebut hanya disampaikan oleh orang itu-itu saja sehingga rawan ditunggangi oleh kalangan tertentu," katanya.
Menurut dia dengan adanya forum masyarakat maka apa yang manjadi kebutuhan masyarkat akan mudah terealisasi tanpa harus menguntungkan satu golongan. "Keinginan dan keperluan masyarakat tidak dapat diseragamkan, mereka memiliki kenginan dan kepentingan masing-masing untuk menjadi lebih baik. Keberanian mereka untuk mewujudkan itulah yang sebenarnya harus terus dikembangkan," ujar Paulus.
Hal serupa juga diungkapkan sosiolog UI Linda D Ibrahim, menurut dia dengan diikutsertakannya masyarakat dalam pembangunan secara langsung, akan menjadikan masyarakat merasa memiliki.
Dengan bersinggungan langsung dengan pemerintah, masyarakat akan merasa sebagai pelaku dari pembangunan negara. Karena selama ini, masyarakat hanya menerima fasilitas dari negara saja. "Dengan berkontribusi maka mereka akan dapat memiliki tanggung jawab," kata Linda.
Oleh karena itu menurut Linda masyarakat perlu diberikan technical skill atau kemampuan teknik untuk membangun lingkungan. "Masyarakat Indonesia memiliki kemampuan besar yang dapat membangun negara. Hanya saja kemampuan dan potensi yang mereka miliki harus lebih di gali," kata Linda.

[Kembali]

Senin, 04 Agustus 2008

Anggota DPD Sebaiknya Mewakili Suku

Politik - Hukum - Keamanan
Dikutip dari Harian Jurnal Nasional, Jakarta Senin, 04 Agt 2008, halaman 08.
by : Iman Syukri

PENGAMAT politik dari Universitas Bengkulu (Unib), Lahmir Syam Sinaga, menilai anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) seharusnya berasal dari suku-suku yang ada di Indonesia.
"Akan lebih tepat kalau anggota DPD itu, berasal dari suku-suku bangsa, karena lebih mewakili daerah, dibandingkan dari kalangan partai politik atau pun perseorangan," katanya ketika dikonfirmasi di Bengkulu, Sabtu (2/8). Menurut dia, tujuan pembentukan DPD dalam rangka memenuhi keterwakilan daerah di parlemen (MPR-red), dan yang "punya" daerah itu yakni suku-suku yang ada dimasing-masing daerah. Pemilihan calon yang akan maju sebagai anggota DPD, kata dia, diserahkan pada anggota suku tersebut, dan yang paling banyak dukungannya dia lah yang dimajukan. Kalau pada satu provinsi terdapat banyak suku, sedangkan jumlah anggota DPD hanya empat, menurut dia, bisa digilir. "Bisa digilir, tahun pertama empat suku dapat kebagian dan tahun berkutunya suku yang lainnya. Saya kira tidak ada masalah," katanya seperti dikutip Antara. Dengan diambil dari perwakilan suku-suku, kapasitas anggota DPD sebagai wakil daerah lebih terlihat, dan dalam memperjaungkan daerah juga tak ada kepentingan lain kecuali ingin memajukan daerahnya. Lamhir menilai, dengan sistem saat ini, maka sangat dimungkinkan anggota DPD yang mewakili satu daerah sebenarnya bukan berasal dari daerah tersebut. Dosen Fisipol Unib itu, juga menilai, seharusnya DPD berkantor di daerah masing-masing, dan baru ke Jakarta ketika diminitai saran atau diundang rapat oleh DPR atau MPR. "Yang terjadi sekarang, para anggota DPD berkantor di Jakarta, ini keliru, sebagai wakil daerah mereka harus berkantor di daerah sehingga bisa menampung aspirasi masyarakat yang diwakilinya," katanya. Karena itu, pemerintah tidak perlu menyediakan kantor untuk anggota DPD di Jakarta, cukup satu ruangan untuk pertemuan atau rapat.
by : Iman Syukri