Dikutip dari Rubrik Internasional di Harian KOMPAS, Kamis, 31 Juli 2008, halaman 08
Jakarta, Kompas - Konflik di berbagai negara, khususnya di negara berpenduduk Muslim, menunjukkan makin pentingnya disemaikan pendidikan berorientasi damai. Umat manusia harus disadarkan, konflik itu bukan bagian dari sifat alami manusia karena justru, sebaliknya, tiap manusia menginginkan kedamaian.
Demikian rangkuman pandangan dari narasumber dan ulama yang menghadiri International Conference of Islamic Scholars (ICIS) Ke-3 yang dibuka Rabu (30/7) di Jakarta.
Sukree Langputeh dari Universitas Islam Yala, Thailand selatan, menguraikan, berbagai perguruan tinggi, badan pemerintah, dan organisasi kemasyarakatan menggunakan berbagai sumber daya untuk mempelajari konflik dan kekerasan. Namun, perhatian yang dicurahkan untuk membuat rencana aksi sistematik dan berkelanjutan prinsip damai relatif sedikit. ”Akibatnya, generasi demi generasi mengulang kesalahan generasi sebelumnya, hingga konflik kekerasan jadi bentuk permanen masyarakat,” ujarnya.
Mulai kerja sama
Menurut Mohtar Mas’oed, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada, sebenarnya berbagai upaya untuk memperluas pendidikan perdamaian telah dilakukan, tetapi masih setengah-setengah dan sporadis. Pendidikan perdamaian itu dipraktikkan dalam bentuk dialog antaragama (interfaith dialogue).
Dialog ini sudah banyak dilakukan meski sebenarnya masih banyak orang yang tak bisa membayangkan dialog antaragama itu seperti apa. ”Anak-anak muda sudah mulai banyak melakukan ini. Sekarang yang harus dilakukan adalah kerja sama antaragama. Jangan hanya dialog,” ujarnya.
Wakil Presiden Majelis Dakwah Islam Regional Asia Tenggara dan Pasifik di Australia Ameer Ali menambahkan, konflik dapat ditangani bersama-sama dengan komunitas agama yang lain. ”Jangan mengisolasi diri sendiri. Dialog seperti ini penting. Kita harus dapat jadi agen perubahan, tetapi kita harus bisa mengubah diri sendiri terlebih dahulu,” ujarnya. (OKI/MZW/LUK)
Kembali
Menurut Mohtar Mas’oed, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada, sebenarnya berbagai upaya untuk memperluas pendidikan perdamaian telah dilakukan, tetapi masih setengah-setengah dan sporadis. Pendidikan perdamaian itu dipraktikkan dalam bentuk dialog antaragama (interfaith dialogue).
Dialog ini sudah banyak dilakukan meski sebenarnya masih banyak orang yang tak bisa membayangkan dialog antaragama itu seperti apa. ”Anak-anak muda sudah mulai banyak melakukan ini. Sekarang yang harus dilakukan adalah kerja sama antaragama. Jangan hanya dialog,” ujarnya.
Wakil Presiden Majelis Dakwah Islam Regional Asia Tenggara dan Pasifik di Australia Ameer Ali menambahkan, konflik dapat ditangani bersama-sama dengan komunitas agama yang lain. ”Jangan mengisolasi diri sendiri. Dialog seperti ini penting. Kita harus dapat jadi agen perubahan, tetapi kita harus bisa mengubah diri sendiri terlebih dahulu,” ujarnya. (OKI/MZW/LUK)
Kembali
Tidak ada komentar:
Posting Komentar