Kamis, 07 Agustus 2008

Voting dan Demokrasi Pancasila

by : Anas Urbaningrum
Dikutip dari Kolom Sudut Pandang, di Harian Jurnal Nasional, Jakarta Jum'at, 13 Jun 2008
Dalam seminar Gerakan Jalan Lurus mengenai demokrasi yang sesuai dengan sila keempat Pancasila beberapa waktu lalu, Sri Sultan Hamengku Buwono X menyoal demokrasi berdasarkan voting. Apa soalnya? Voting tidak berdasarkan falsafah musyawarah mufakat, tidak sejalan dengan semangat kebersamaan dan menghasilkan mayoritas dan minoritas. Elite-elite politik mengedepankan voting, padahal rakyat menyukai harmoni.Saya agak berbeda dengan Ngarso Dalem Sultan. Ketika kita memilih jalan demokrasi, maka voting tidak bisa ditolak. Demokrasi Pancasila, saya setuju, mengedepankan musyawarah mufakat. Inilah semangat mencari titik temu dalam proses pengambilan keputusan. Jika bisa dimusyawarahkan, mufakatlah jalannya.Tetapi voting tidak bertentangan dengan semangat kebersamaan. Voting tidak bermakna perusak harmoni. Voting bukan lawan kebersamaan. Voting adalah metode untuk memutus sesuatu, jika musyawarah tidak berhasil memproduksi kata mufakat. Jadi, soalnya bukan voting. Perkaranya apakah kita dewasa dalam mempraktikkan voting? Demokrasi Pancasila kita justru harus mendewasakan diri dengan mewajarkan voting: dalam menjalankan dan menerima hasil voting. Saya menduga, kalau kita terlalu pekat memuja mufakatisme akan menghambat tumbuhnya kedewasaan dalam mempraktikkan voting. Artinya, bisa menjadi kontributor bagi munculnya sikap kanak-kanak: marah dan dendam lantaran kalah voting. Saya tidak melihat voting akan merusak kecenderungan rakyat menyukai harmoni. Rakyat tidak begitu peduli, apakah para elite mengambil keputusan dengan mufakat atau pemungutan suara. Yang penting keputusan itu berfaedah bagi rakyat. Rakyat kita cukup dewasa, karena ditempa pengalaman panjang tentang konflik. Rakyat sudah kenyal dan sanggup menerima perbedaan secara dewasa. Yang acapkali kurang dewasa adalah para elite yang disandera hawa nafsu politik jangka pendek, sesaat dan tidak kuasa menerima kekalahan. Bagi elite yang "kanak-kanak", rakyat menjadi bahan bakar bagi sikap dan perilakunya yang menggelikan. Rakyat dihasut, dimanipulasi, dimobilisasi dan dijadikan alasan untuk memoles kepentingan politiknya.
Karena itu, kita justru harus mulai berani membangun kebersamaan dan harmoni di tengah tradisi baru berdemokrasi, termasuk ketika harus voting. Basisnya sederhana: sanggup menerima kemenangan dan kekalahan secara dewasa. Menang tidak pongah, kalah tidak marah-marah. Menang secara elegan, kalah terhormat. Lantaran itu, mufakat maupun pemungutan suara sama derajatnya di hadapan demokrasi Pancasila. Mufakat dan voting sama-sama memberi ruang memadai bagi kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan-perwakilan. Wallahu a`lam


[Kembali]

Tidak ada komentar: