Kamis, 31 Juli 2008

Reposisi Kedudukan Polri Terserah DPR

Keamanan Nasional
Dikutip dari Rubrik Politik & Hukum di Harian KOMPAS, Kamis, 31 Juli 2008 halaman 02.

Jakarta, Kompas - Terkait masalah reposisi kedudukan Polri, yang diatur dalam draf Rancangan Undang-Undang tentang Keamanan Nasional, Kepala Polri Jenderal (Pol) Sutanto menegaskan, hal itu diserahkan sepenuhnya kepada DPR dan masyarakat. Namun, pembahasan RUU itu masih panjang.
Sutanto mengemukakan sikapnya itu, Selasa (29/7), seusai mengikuti rapat koordinasi bidang politik, hukum, dan keamanan di Jakarta. Rapat dipimpin Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Widodo AS dan membahas naskah akademik draf RUU Keamanan Nasional yang diajukan Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas).
Menurut Sutanto, spektrum masalah keamanan dan ancaman sangat beragam dan dengan perbedaan tingkat eskalasi serta institusi penanggung jawab yang juga bervariasi. Isu penyebaran virus flu burung menjadi tanggung jawab Departemen Kesehatan, sedangkan terkait masalah kriminal adalah tanggung jawab Polri.
”Jika eskalasi masalah virus flu burung tadi meningkat, penanganannya bisa naik ke Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat dan dengan melibatkan semua pihak, termasuk TNI dan Polri. Cuma tinggal bagaimana menatanya sesuai kepentingan bangsa. Kami tak melihat (draf akademik dari Lemhannas) itu sebagai kompromi,” ujarnya.
Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono menyatakan, terkait RUU Keamanan Nasional, masih akan menunggu pembulatan naskah akademik dari Lemhannas. Namun, diakuinya, kemungkinan proses penyusunan draf RUU itu yang baru akan diserahkan kepada Departemen Pertahanan lagi.
”Tak ada yang namanya kompromi. Kami sepakat harus ada koordinasi antara masalah pertahanan dan keamanan. Semua itu cuma masalah penekanan saja, terutama Menteri Dalam Negeri dalam konteks keamanan dalam negeri, terutama tugas tataran kecil, termasuk polisi, bea cukai, dan imigrasi. Kalau keamanan luar negeri di TNI,” ujarnya.
Gubernur Lemhannas Muladi menambahkan, sejumlah kalangan dalam pemerintahan mengisyaratkan persetujuannya terhadap naskah akademik RUU yang ditawarkan Lemhannas. (dwa)

Kembali

Rabu, 30 Juli 2008

Pendidikan Berorientasi Damai Perlu Disemaikan

Pandangan
Dikutip dari Rubrik Internasional di Harian KOMPAS, Kamis, 31 Juli 2008, halaman 08

Jakarta, Kompas - Konflik di berbagai negara, khususnya di negara berpenduduk Muslim, menunjukkan makin pentingnya disemaikan pendidikan berorientasi damai. Umat manusia harus disadarkan, konflik itu bukan bagian dari sifat alami manusia karena justru, sebaliknya, tiap manusia menginginkan kedamaian.
Demikian rangkuman pandangan dari narasumber dan ulama yang menghadiri International Conference of Islamic Scholars (ICIS) Ke-3 yang dibuka Rabu (30/7) di Jakarta.
Sukree Langputeh dari Universitas Islam Yala, Thailand selatan, menguraikan, berbagai perguruan tinggi, badan pemerintah, dan organisasi kemasyarakatan menggunakan berbagai sumber daya untuk mempelajari konflik dan kekerasan. Namun, perhatian yang dicurahkan untuk membuat rencana aksi sistematik dan berkelanjutan prinsip damai relatif sedikit. ”Akibatnya, generasi demi generasi mengulang kesalahan generasi sebelumnya, hingga konflik kekerasan jadi bentuk permanen masyarakat,” ujarnya.
Mulai kerja sama
Menurut Mohtar Mas’oed, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada, sebenarnya berbagai upaya untuk memperluas pendidikan perdamaian telah dilakukan, tetapi masih setengah-setengah dan sporadis. Pendidikan perdamaian itu dipraktikkan dalam bentuk dialog antaragama (interfaith dialogue).
Dialog ini sudah banyak dilakukan meski sebenarnya masih banyak orang yang tak bisa membayangkan dialog antaragama itu seperti apa. ”Anak-anak muda sudah mulai banyak melakukan ini. Sekarang yang harus dilakukan adalah kerja sama antaragama. Jangan hanya dialog,” ujarnya.
Wakil Presiden Majelis Dakwah Islam Regional Asia Tenggara dan Pasifik di Australia Ameer Ali menambahkan, konflik dapat ditangani bersama-sama dengan komunitas agama yang lain. ”Jangan mengisolasi diri sendiri. Dialog seperti ini penting. Kita harus dapat jadi agen perubahan, tetapi kita harus bisa mengubah diri sendiri terlebih dahulu,” ujarnya. (OKI/MZW/LUK)

Kembali

Bahaya Departisipasi Publik

Oleh BUDIARTO DANUJAYA
Dikutip dari Rubrik OPINI di Harian KOMPAS, Kamis, 31 Juli 2008 halaman 06

Ironis kita mengalami intensitas eksesif golput justru di era penyelenggaraan politik yang lebih mencanangkan partisipasi, termasuk memungkinkan pemungutan suara lebih bebas dan langsung.
Fenomena ini penting disaksamai bukan hanya karena pertanda kemerosotan kualitas legitimasi otoritas politik yang terpilih, tetapi juga karena posibilitasnya sebagai penanda memudarnya derivat partisipasi lebih luas dalam keseharian kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Menurut prediksi Litbang Kompas, golput pada Pilkada Jatim (23/7) lalu mencapai 39,2 persen. Angka ini membuat rerata golput pada beberapa pilkada terakhir, yang bukan hanya padat pemilih tetapi secara historis juga kawasan sadar politik, mendekati 40 persen.
Sebelumnya, rekapitulasi golput pada Pilkada Banten mencapai 39,17 persen, DKI Jakarta 34,59 persen, Jawa Barat 32,7 persen, dan Jawa Tengah 41,5 persen (Kompas, 25/7). Belum terbilang angka partisipasi jauh di bawah 50 persen pada subkawasan tertentu.
Apakah departisipasi publik sedang melanda kita?
Luapan golput, yang mendekati ambang ketidaklayakan klaim rezim demokratis ini, bisa saja dibaca sekadar fenomena ”ogah” atau cuek. Namun, bisa juga, dan boleh jadi, sebuah pernyataan politik terpendam. Keseragaman intensitasnya menggoda prasangka betapa pemudaran hasrat publik untuk memercayai dan melibatkan diri sedang menggelinding.
Krisis legitimasi
Intensitas ini jelas bertabrakan dengan konstitutivitas demokrasi sebagai politik partisipatif yang mengagulkan keterlibatan rakyat banyak karena memercayai kebijakan mayoritas real. Karena itu, kecemasan akan konsekuensinya pada kemerosotan kualitas legitimasi otoritas politik terpilih masuk akal.
Luapan golput pada Pilkada Jabar (13/4) lalu, misalnya, gamblang mendemonstrasikan anomali proporsionalitas keterwakilan konstituensi karena ketidaksejajaran antara perkiraan konstituen real versus rekapitulasi elektoral yang sah. Situasi ini tampak jelas lewat luputnya prediksi prapilkada dari sejumlah lembaga survei terpercaya yang biasanya akurat.
Keluputan ini mungkin terjadi karena intensitas kekecewaan politis yang terbentuk, bermuara pada tingginya golput, bersifat ”baru saja” dan tidak terbagi proporsional. Intensitas kekecewaan pada ”pembangkangan” politis itu lebih tertuju kepada partai-partai besar, khususnya yang sedang berkuasa, karena anasir kausalnya bersifat aktual, katakanlah kebijakan ekonomi tertentu, seperti isu BBM.
Tampak, kemerosotan kualitas legitimasi berdampak nyata. Olok-oloknya, golputlah yang berkuasa dan terpilih karena memenangi pilkada sebenarnya. Namun, golput ”lupa” mengajukan calon.
Betapa pun, kualitas legitimasi juga bisa diremehkan hanya sebagai perkara legal- formal. Selain sulit dirasakan sangkut pautnya dengan denyut kehidupan nyata masyarakat luas, anggapan ini juga mudah mengemuka karena secara legal-formal hanya besaran persentase elektoral, yang dalam realitas tak pernah akan utuh. Dalam konteks itulah, memandang fenomena ini bukan sekadar perkara ancaman delegitimasi, tetapi juga bahaya departisipasi publik menjadi penting.
Penggandaan kapabilitas
Di negeri ini berbulan-bulan gerakan antipolitikus busuk diwacanakan, tetapi ada tersangka kejahatan korupsi atau HAM yang perkaranya masih menggantung, bahkan ada yang sempat terpidana, bisa mencalonkan diri, bahkan ada yang terpilih, tanpa ada yang peduli.
Bolak-balik terungkap kisah koruptor, yang seharusnya sudah dicekal, tahu-tahu lolos ke luar negeri dan tak kembali.
Sejumlah teroris terkemuka, yang wajahnya terpampang berhari-hari di koran dan televisi, dapat bertahun-tahun hidup aman tenteram sebagai warga biasa sebelum tertangkap. Banyak acara televisi bisa bertahan bertahun-tahun membodohi masyarakat, bahkan menyinggung perasaan bersusila atau beragama masyarakat luas sebelum dilarang. Banyak narapidana bebas kunjung, kluyar-kluyur keluar penjara, bahkan bisa pesan puluhan mangkok soto untuk merayakan ultahnya.
Banyak lagi perkara semacam itu terlambat diantisipasi karena, antara lain, banyak orang tak peduli. Penyelenggaraan kehidupan bersama, termasuk dalam pengawasan dan kepatuhan hukum semacam ini, terlalu bergantung pada lembaga-lembaga resmi karena tak jalannya partisipasi. Mungkinkah di antara 200 juta anak negeri tak ada yang lebih dini membaca, mengetahui, atau menyaksikan semua hal ini?
Ambang ke-cuek-an publik kita sudah mengkhawatirkan. Padahal, partisipasi orang banyak tak hanya merupakan muasal kekuasaan, tetapi juga sumber kekuatan negara—jadi, bukan hanya kapasitasnya, tetapi juga kapabilitasnya—dalam menyelenggarakan keseharian kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Penempatan sentral partisipasi ini sejajar dengan reinterpretasi teori politik kuno mengenai penghimpunan kuasa pada ”yang Satu” lewat penggandaan-tubuh. Hanya lewat keberhasilan proses partisipasilah, negara—termasuk penguasa/pemerintah dan aparatnya, sebagai yang semula terbatas—bisa mendadak memiliki banyak kepala, tangan, kaki, mata, dan telinga untuk merancang, menerapkan, serta mengontrol kehidupan ”orang banyak” dalam bermasyarakat dan bernegara (Bernard Flynn : 1995).
Jadi, negara hanya bisa mencapai kemajemukan kapabilitas kekuatannya, dan karena itu berarti kepenuhan kapasitas kekuasaannya, karena merupakan tiwikrama fantasmatik kemajemukan orang banyak: rakyat. Gamblangnya, kekuatan negara bukan hanya konsekuensi, tetapi juga identik dengan partisipasi rakyat.
Dalam konteks inilah intensitas golput perlu diwaspadai: sebuah suratan ke-cuek-an publik. Sebuah penanda memudarnya derivat partisipasi publik lebih luas dalam penyelenggaraan keseharian kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Manakala partisipasi sirna, sang kuasa kembali hanya bermata dua.

BUDIARTO DANUJAYA
Pengajar Filsafat Politik Departemen Filsafat FIB-UI

Kembali

Sabtu, 19 Juli 2008

Jauhi Ekstremisme

Dicuplik dari Rubrik Internasional di Harian KOMPAS, Jumat, 18 Juli 2008 halaman 11
MADRID, KAMIS, KOMPAS – Raja Abdullah dari Arab Saudi menyerukan kepada umat beragama agar menjauhi ekstremisme dan mengadakan rekonsiliasi. Raja Abdullah juga menyerukan dialog konstruktif untuk membuka halaman baru rekonsiliasi setelah begitu banyaknya perselisihan.

Pertemuan di Madrid pada 16-18 Juli yang disponsori Arab Saudi dimaksudkan untuk mendekatkan umat Muslim, Kristen, dan Yahudi serta mengisolasi orang-orang yang memanfaatkan agama untuk membenarkan kekerasan dan intoleransi. Madrid dipilih karena kota ini menjadi rumah bagi berkembangnya ketiga agama besar itu dalam harmoni selama berabad-abad.

Raja Abdullah mengatakan, upaya sebelumnya untuk menggelar dialog antaragama gagal karena hanya terfokus pada perbedaan agama. “Jika ingin berhasil dalam pertemuan historis ini, kita harus menekankan persamaan yang kita miliki, yaitu kepercayaan dan iman kepada Tuhan,” ujarnya, seperti dikutip Reuters, Kamis (17/7).
Selain umat ketiga agama, Raja Abdullah juga mengundang perwakilan umat Buddha, Hindu, dan Sikh. Peserta antara lain adalah mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair dan pendeta asal AS, Jesse Jackson.
Setelah upacara pembukaan, Rabu, dialog dilanjutkan dengan pertemuan tertutup. Sebuah komunike akhir akan dikeluarkan hari Jumat ini.

“Jika pertemuan ini bergerak maju dan ada pertemuan dengan perwakilan resmi Israel di Arab Saudi, ini akan menjadi permulaan bagus dalam sebuah proses historis. Jika tidak, ini hanya satu lagi kesempatan foto bersama,” kata Rabi David Rosen dari Komite Yahudi Amerika.
Presiden Kongres Yahudi Sedunia Ronald Lauder menyebut pertemuan itu signifikan. Kardinal Jean-Louis Tauran dari Vatikan menggambarkan dialog antaragama itu sebagai langkah yang penuh semangat.
“Ini adalah tugas pemimpin agama untuk bekerja bersama memperbaiki penghormatan nilai-nilai etis dan menghindari benturan peradaban,” kata Lauder.
Isu yang dibicarakan dalam pertemuan mencakup etika, keluarga, dan lingkungan.
(AFP/REUTERS/FRO)

Sulitnya Mencontoh Mandela

AFRIKA SELATAN
Dikutip dari Rubrik INTERNASIONAL di Harian KOMPAS, Jumat, 18 Juli 2008 halaman 10

Pesta dan bersulang, bersukacita, sekaligus bersyukur atas ulang tahun ke-90 Nelson Mandela terasa sejak hari Kamis (17/7) di seluruh Afrika Selatan. Sebenarnya, sukacita dan syukur bagi Mandela berlangsung di seantero dunia.

Bagi sebagian besar warga dunia, Nelson Mandela adalah seorang warga favorit. Para bintang dunia sejak akhir Juni sudah membuat pesta berkenaan dengan usia ke-90 tahun Mandela di Hyde Park, London. Mandela menjadi contoh sosok pengampun. Juga sosok pemimpin yang sukarela menyerahkan kekuasaan kepada yang lebih muda.

Dua contoh yang dibuat Mandela ini merupakan barang langka di mana saja. Tidak usah jauh-jauh. Di Indonesia, pengampun merupakan barang sangat langka. Membakar, membunuh, dan bertikai, tetap saja marak, dengan berbagai alasan yang kadang sangat sederhana. Jangankan menyerahkan kekuasaan, tidak ada yang mau mengalah meski jelas kalah dalam pemilu.
Dari apa yang dibuat Mandela, maka semangat dari merayakan usia 90 tahun Mandela adalah untuk lebih mengumandangkan lagi contoh-contoh baik pria humoris itu. Tidak pernah terlihat bahwa dia sudah beberapa dekade berada dalam tahanan pemerintahan apartheid kulit putih Afrika Selatan.

Pemerintah Afrika Selatan sudah mengeluarkan prangko dengan gambar Mandela, bagian dari kado ulang tahun. Surat kabar lokal memberikan halaman khusus yang bercerita soal semua sepak terjang negarawan sepuh yang sangat dicintai dunia ini. Mandela dan keluarganya merayakan syukur di Qunu, Provinsi Eastern Cape, tempat kelahirannya. Sekitar 500 orang akan hadir.
Radio lokal membacakan kembali biografi Mandela, ”Long Walk to Freedom” yang mengisahkan 27 tahun Mandela dalam tahanan pemerintahan kulit putih. Mandela kemudian memaafkan para mantan penguasa kulit putih, sebuah rekonsiliasi yang kini menjadi ikon bagi upaya untuk menyelesaikan sengketa internal di sesuatu negara.
Harian The Star memberikan halaman depan untuk 10 tahun perkawinan Mandela dengan Graca Machel, janda mantan Presiden Mozambik Samora Machel. Graca berusia 52 tahun saat memilih menikah dengan Mandela yang tepat berusia 80 tahun. Keduanya sangat bahagia.
Ndileka Mandela, cucu Mandela, menuturkan, keluarga memberikan “sebuah kejutan” bagi sang kakek di Qunu. “Kami tak ingin berlebihan, di mana bisa jadi bukan kejutan lagi sebelum acara ini dimulai,“ ujarnya. “Ini hari spesial bukan saja bagi dia (Mandela), tetapi juga bagi kami,“, lanjutnya.

Banyak pesan dan kesan sudah dilakukan di berbagai tempat di dunia berkenaan dengan ulang tahun ke-90 Mandela. Konser di Hyde Park, London, memang membuat Mandela bergembira karena menghasilkan sejumlah dana untuk yayasan AIDS/HIV miliknya.
Akan tetapi, suatu hal yang mungkin menjadi kado istimewa bagi Mandela, ketika contoh-contoh kepemimpinannya yang pengampun, tahu diri, bisa diteruskan banyak warga dunia ini.
Sesuatu yang menyedihkan, seperti ditulis Reuters, penguasa Afrika Selatan saat ini tidak menjalankan warisan Mandela. Thabo Mbeki, yang menjadi penerus Mandela, belakangan dikecam karena gagal mengatasi AIDS, kemiskinan, krisis energi, kriminalitas, dan krisis politik di tetangganya, Zimbabwe.
“Mandela mempersatukan negeri, Mbeki menghancurkannya,“ tulis Financial Mail soal kondisi Afrika Selatan saat ini. Mbeki juga mendukung pemerintahan tak demokratis Presiden Robert Mugabe di Zimbabwe.
Apa pun itu, sungguh sulit untuk bisa memapak jejak baik Nelson Mandela. (PPG)

Negara Jangan Campuri Urusan Keagamaan

Dicuplik dari Rubrik Politik & Hukum di Harian KOMPAS, Senin, 16 Juni 2008 halaman 2

Jakarta, KOMPAS – Kewenangan negara atas urusan keagamaan adalah mengadministrasikan apa yang menjadi keputusan kelompok agama. Jika sebuah lembaga umat beragama sudah membuat keputusan, negara hanya mencatat keputusan itu. Negara tidak berhak membuat keputusan tentang agama yang diputuskan kelompok umat beragama.

“Pasalnya, ketika negara masuk dan ikut sebagai penafsir dan membuat keputusan tentang agama, kepala negara menjadi pemimpin agama. Padahal, Indonesia bukanlah negara agama yang pemimpin negaranya juga menjadi pemimpin agama”, ujar Ketua Badan Penelitian dan Pengembangan Partai Amanat Nasional Sayuti Asyathri dalam diskusi tentang agama dan kenegaraan di Jakarta, Jumat (13/6).
“Misalnya, ketika semua umat Islam meminta semua yang bermerk Islam harus mengikuti aturannya, negara tidak berhak membuat tafsir keputusan, apalagi jika keputusan itu berbeda dengan aspirasi yang ada. Negara harus mengikutinya”, ujarnya.

Dalam praktiknya, kata Sayuti, terlepas dari problem kelembagaan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang dinilai belum sepenuhnya menaungi aspirasi umat Islam, MUI seharusnya menjadi lembaga payung yang mempunyai otoritas dalam soal keagamaan. Dengan demikian, pemerintah tak membuat keputusan yang berbeda dari kesepakatan umat.
Menurut Suyuti, kebijakan negara dibutuhkan ketika ada problem eksternalitas antarkelompok beragama, sedangkan keputusan dalam internal agama harus diselesaikan sendiri dan tidak boleh ada campur tangan kelompok agama lain atau pun negara.

Secara terpisah, Juru Bicara Hisbut Tahrir Indonesia (HTI) Ismail Yusanto mengatakan, HTI bisa menerima surat keputusan bersama sebagai sebuah proses yang dilakukan pemerintah dalam mengambil tindakan. Namun pemerintah harus terus didorong untuk lebih tegas lagi. (MAM)