Oleh BUDIARTO DANUJAYA
Dikutip dari Rubrik OPINI di Harian KOMPAS, Kamis, 31 Juli 2008 halaman 06
Ironis kita mengalami intensitas eksesif golput justru di era penyelenggaraan politik yang lebih mencanangkan partisipasi, termasuk memungkinkan pemungutan suara lebih bebas dan langsung.
Fenomena ini penting disaksamai bukan hanya karena pertanda kemerosotan kualitas legitimasi otoritas politik yang terpilih, tetapi juga karena posibilitasnya sebagai penanda memudarnya derivat partisipasi lebih luas dalam keseharian kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Menurut prediksi Litbang Kompas, golput pada Pilkada Jatim (23/7) lalu mencapai 39,2 persen. Angka ini membuat rerata golput pada beberapa pilkada terakhir, yang bukan hanya padat pemilih tetapi secara historis juga kawasan sadar politik, mendekati 40 persen.
Sebelumnya, rekapitulasi golput pada Pilkada Banten mencapai 39,17 persen, DKI Jakarta 34,59 persen, Jawa Barat 32,7 persen, dan Jawa Tengah 41,5 persen (Kompas, 25/7). Belum terbilang angka partisipasi jauh di bawah 50 persen pada subkawasan tertentu.
Apakah departisipasi publik sedang melanda kita?
Luapan golput, yang mendekati ambang ketidaklayakan klaim rezim demokratis ini, bisa saja dibaca sekadar fenomena ”ogah” atau cuek. Namun, bisa juga, dan boleh jadi, sebuah pernyataan politik terpendam. Keseragaman intensitasnya menggoda prasangka betapa pemudaran hasrat publik untuk memercayai dan melibatkan diri sedang menggelinding.
Krisis legitimasi
Intensitas ini jelas bertabrakan dengan konstitutivitas demokrasi sebagai politik partisipatif yang mengagulkan keterlibatan rakyat banyak karena memercayai kebijakan mayoritas real. Karena itu, kecemasan akan konsekuensinya pada kemerosotan kualitas legitimasi otoritas politik terpilih masuk akal.
Luapan golput pada Pilkada Jabar (13/4) lalu, misalnya, gamblang mendemonstrasikan anomali proporsionalitas keterwakilan konstituensi karena ketidaksejajaran antara perkiraan konstituen real versus rekapitulasi elektoral yang sah. Situasi ini tampak jelas lewat luputnya prediksi prapilkada dari sejumlah lembaga survei terpercaya yang biasanya akurat.
Keluputan ini mungkin terjadi karena intensitas kekecewaan politis yang terbentuk, bermuara pada tingginya golput, bersifat ”baru saja” dan tidak terbagi proporsional. Intensitas kekecewaan pada ”pembangkangan” politis itu lebih tertuju kepada partai-partai besar, khususnya yang sedang berkuasa, karena anasir kausalnya bersifat aktual, katakanlah kebijakan ekonomi tertentu, seperti isu BBM.
Tampak, kemerosotan kualitas legitimasi berdampak nyata. Olok-oloknya, golputlah yang berkuasa dan terpilih karena memenangi pilkada sebenarnya. Namun, golput ”lupa” mengajukan calon.
Betapa pun, kualitas legitimasi juga bisa diremehkan hanya sebagai perkara legal- formal. Selain sulit dirasakan sangkut pautnya dengan denyut kehidupan nyata masyarakat luas, anggapan ini juga mudah mengemuka karena secara legal-formal hanya besaran persentase elektoral, yang dalam realitas tak pernah akan utuh. Dalam konteks itulah, memandang fenomena ini bukan sekadar perkara ancaman delegitimasi, tetapi juga bahaya departisipasi publik menjadi penting.
Penggandaan kapabilitas
Di negeri ini berbulan-bulan gerakan antipolitikus busuk diwacanakan, tetapi ada tersangka kejahatan korupsi atau HAM yang perkaranya masih menggantung, bahkan ada yang sempat terpidana, bisa mencalonkan diri, bahkan ada yang terpilih, tanpa ada yang peduli.
Bolak-balik terungkap kisah koruptor, yang seharusnya sudah dicekal, tahu-tahu lolos ke luar negeri dan tak kembali.
Sejumlah teroris terkemuka, yang wajahnya terpampang berhari-hari di koran dan televisi, dapat bertahun-tahun hidup aman tenteram sebagai warga biasa sebelum tertangkap. Banyak acara televisi bisa bertahan bertahun-tahun membodohi masyarakat, bahkan menyinggung perasaan bersusila atau beragama masyarakat luas sebelum dilarang. Banyak narapidana bebas kunjung, kluyar-kluyur keluar penjara, bahkan bisa pesan puluhan mangkok soto untuk merayakan ultahnya.
Banyak lagi perkara semacam itu terlambat diantisipasi karena, antara lain, banyak orang tak peduli. Penyelenggaraan kehidupan bersama, termasuk dalam pengawasan dan kepatuhan hukum semacam ini, terlalu bergantung pada lembaga-lembaga resmi karena tak jalannya partisipasi. Mungkinkah di antara 200 juta anak negeri tak ada yang lebih dini membaca, mengetahui, atau menyaksikan semua hal ini?
Ambang ke-cuek-an publik kita sudah mengkhawatirkan. Padahal, partisipasi orang banyak tak hanya merupakan muasal kekuasaan, tetapi juga sumber kekuatan negara—jadi, bukan hanya kapasitasnya, tetapi juga kapabilitasnya—dalam menyelenggarakan keseharian kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Penempatan sentral partisipasi ini sejajar dengan reinterpretasi teori politik kuno mengenai penghimpunan kuasa pada ”yang Satu” lewat penggandaan-tubuh. Hanya lewat keberhasilan proses partisipasilah, negara—termasuk penguasa/pemerintah dan aparatnya, sebagai yang semula terbatas—bisa mendadak memiliki banyak kepala, tangan, kaki, mata, dan telinga untuk merancang, menerapkan, serta mengontrol kehidupan ”orang banyak” dalam bermasyarakat dan bernegara (Bernard Flynn : 1995).
Jadi, negara hanya bisa mencapai kemajemukan kapabilitas kekuatannya, dan karena itu berarti kepenuhan kapasitas kekuasaannya, karena merupakan tiwikrama fantasmatik kemajemukan orang banyak: rakyat. Gamblangnya, kekuatan negara bukan hanya konsekuensi, tetapi juga identik dengan partisipasi rakyat.
Dalam konteks inilah intensitas golput perlu diwaspadai: sebuah suratan ke-cuek-an publik. Sebuah penanda memudarnya derivat partisipasi publik lebih luas dalam penyelenggaraan keseharian kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Manakala partisipasi sirna, sang kuasa kembali hanya bermata dua.
BUDIARTO DANUJAYA
Pengajar Filsafat Politik Departemen Filsafat FIB-UI
Kembali