Ciil itu ibarat air, mengalir tak henti. Dia tidak memandang di mana berada, dan tak mempermasalahkan dengan siapa dia berhadapan.
Bagi dirinya, semua orang adalah sama. Status sosial tak terlalu dipedulikan. Ia bergaul dengan siapa saja dan dari berbagai kalangan. Seperti air, ia pun tidak terkotak-kotak dan mengotakkan diri pada satu atau beberapa aliran pemikiran dalam ilmu pengetahuan.
Mencintai dunia akademis
Ketika masih kuliah di Harvard, ia amat mengagumi Samuel Huntington dan pemikirannya. Semua buku Huntington, dia lalap dengan cepat. Saya bahkan terkena imbasnya, disuruh (jika tak hendak mengatakan di-”paksa”) membacanya saat saya mengambil mata kuliah antropologi politik di Boston University. Namun, pada saat sama, ia juga mengkritik pandangan Huntington yang disampaikan langsung kepadanya.
Dia juga mengagumi Prof Stanley Hoffman, pakar politik ekonomi Rusia dan Eropa Timur. Ia belajar mengenai pembuatan policy dari Prof Jack Montgomery, ahli kebijakan publik (public policy), di mana Ciil sendiri pernah menjadi asistennya selama tiga tahun. Ciil juga berguru kepada Prof Richard Musgrave tentang public finance. Ia juga menyukai Francis Fukuyama dalam buku The Great Disruption, seperti kekagumannya terhadap tulisan dan buku Kenneth Galbraith seperti The Affluent Society. Saya rada yakin Ciil hafal titik koma isi buku itu.
Pada awal tahun 2000, ia berteman dengan Prof Paul Krugman, kolumnis ekonomi The New York Times, dan profesor ekonomi dari Princeton. Ciil bahkan mengundang Krugman dua kali datang ke Indonesia untuk berceramah bersama antara lain Marie Pangestu. Ia juga menyukai pikiran ”kiri” Richard Robinson, seperti halnya ia tertarik dengan jalan pikiran Hal Hil dan Ann Booth dari Australia.
Cukup banyak mazhab dalam ilmu ekonomi yang membuat Ciil menatap kagum meski ia mungkin berbeda pendapat dengan sejumlah mazhab itu. Baginya yang terpenting bukan mempelajari perbedaan yang ada, tetapi mengupayakan bagaimana mengelola perbedaan itu bagi kepentingan pembuatan kebijakan publik. Lima tahun terakhir, pemikirannya banyak dipengaruhi pemenang hadiah Nobel Ekonomi Amartya Sen. Hampir semua buku Amartya dikoleksi dan dibaca berulang-ulang, diulas, dikomentari, dan didiskusikan.
Pada dasarnya, Ciil amat mencintai dunia akademis. Ia menyukai peran sebagai dosen dan penulis. Setiap kali ada ide menarik, ia ingin segera melukiskannya. Ide itu dapat datang kapan saja dan di mana saja. Biasanya ia mendikte ide itu langsung dari tempat dia berada: dari mobil, restoran, atau dari Bakoel Coffee, tempat favoritnya untuk minum kopi pada sore hari.
Berikut ilustrasi saat Ciil menelepon Poppy, sekretarisnya, ”Hallo Poppeke, di mana posisi? di kantor? Ok, tolong segera di komputer, aku mau dikte–cepetan! Jangan lebih lama dari 5 menit. Siap? Sekarang aku mulai….” Mulailah ide keluar seperti air mancur. Begitu selesai: ”Ada yang terlewat Pop? Ok kan semua? Tolong print out-kan ya. Aku balik kantor satu jam lagi….” Begitu Ciil kembali ke kantor, draf tulisan sudah siap dikoreksi. Ciil sendiri tidak pandai mengetik meski amat ingin karena jari-jari tangannya lebih besar daripada tuts komputer.
Perbedaan itu indah
Ibarat air mengalir, Ciil adalah sebuah mosaik. Bermacam ide, pikiran, dan aktivitas menjadi satu dalam tubuhnya yang subur. Ia memiliki karakter yang saya sebut ”pluralistik”.
Menurut Ciil, semua orang adalah sama dan perbedaan bukan untuk dipertentangkan, dikelola saksama. Perbedaan itu indah karena membentuk berbagai corak dan warna dalam suatu sinergi yang serasi. Ia sering mengutip istilah dari sahabatnya, Rocky Gerung, yang mengatakan, orang diukur berdasarkan ”ayat konstitusi” dalam suatu negara demokratis. Bukan dari ”ayat- ayat suci”. Bagi Ciil, agama adalah sesuatu yang teramat suci yang tidak boleh ditransaksikan secara politik. Hubungan seseorang dengan pencipta-Nya adalah sesuatu yang amat pribadi dan sakral.
Sikapnya yang amat mendukung kemajemukan inilah yang kemudian mendorong Ciil membangun Partai Perjuangan Indonesia Baru pada tahun 2002, selain pemahaman tentang pentingnya kemakmuran ekonomi berlandaskan keadilan sosial, seperti pemikiran Amartya Sen. Dengan mesin politik ini, menurut Ciil, teman-teman yang sepaham mau dan bersedia keluar dari ”sarang nyaman” (comfort zone) untuk membawa Indonesia ke arah yang lebih baik dan berkeadilan. Pada Pemilu 2004, ia memberikan kesempatan bagi kaum perempuan dan minoritas Tionghoa untuk menduduki kursi nomor 1 dan 2. Hingga tak mengherankan, anggota-anggota DPRD 1 dan 2 Partai PIB banyak yang perempuan dan Tionghoa.
Keluarga
Ciil adalah anak tunggal dari keluarga yang ayah-ibunya bercerai. Pengalaman pahit masa kecil begitu membekas sehingga membuat dia bertekad untuk membangun keluarga yang bahagia. Saya dan anak-anak betul- betul dilimpahi kasih sayang dan perhatian dengan segala kelucuan dan kekonyolan khas Ciil. Baginya, keluarga adalah segala-galanya. Ciil menjadi guru dan mentor utama bagi pendidikan kedua anak kami: Pandu dan Gita. Ia melatih anak-anak berdebat dan berdiskusi sejak kecil. Setiap tahun sambil berlibur, ia melakukan swot meeting dengan anak- anak dan saya. SWOT adalah S: strength (kekuatan), W: weakness (kelemahan), O: opportunities (kesempatan) dan T: threat (ancaman).
Dalam swot meeting, ia membahas berbagai hal dengan anak- anak, mulai soal di sekolah sampai pergaulan anak muda. Ciil juga membuka diri untuk dikritik secara terbuka oleh anak-anak. Saya ingat, kritik anak-anak kepada Ciil setiap tahun adalah ”ayah terlalu gemuk”, ”ayah terlalu mau ngatur semua”, atau ”ayah kayak kepala suku, semua orang mau diurusin”, atau saat anak- anak mulai besar, mereka bilang ”ayah terlalu baik dan terlalu percaya bahwa semua orang seperti ayah....”
Meski sesudah anak-anak besar dan menempuh studi S-2, ia juga mengeluh kepada saya bahwa anak-anak, terutama Gita, amat pandai mendebat dan dia sering kewalahan menjawab. Saya menangkap ada rasa bangga di dalamnya. Berulang kali dia sampaikan, saat kami duduk berdua berbincang-bincang, bahwa sebetulnya tidak ada lagi yang dia cari dalam hidupnya. Bagi Ciil, achievement dia yang terbesar adalah keberhasilan dari pendidikan dan pembentukan karakter kedua anak kami.
Air itu berhenti mengalir pada Senin, 28 Juni 2008, pukul 09.08 di Rumah Sakit Mt Elizabeth, Singapura. Jam Ciil berhenti berdetak. Perjuangannya melawan sakit yang tiba-tiba datang menyergap usai sudah. Wajahnya tenang dan damai dalam pelukan kami: Pandu, Abdul (calon menantu), dan saya, seolah berkata: ”… aku mengalir terus dalam jiwa dan semangat, dalam cita-cita dan pengharapanku….”
Empat puluh hari kau telah meninggalkan kami. Selamat jalan Ciil….
Kartini Sjahrir Istri (alm) Dr Sjahrir; Antropolog lulusan Boston University, AS; Ketua Umum Partai PIB
[ Kembali ]